CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Thursday, July 2, 2009

[kcb-milis] Eric Sasono sang kritikus film, berbicara...



sumber : tempointeraktif

Aspirasi Muslim Baru dalam Film

Kamis, 02 Juli 2009 | 09:55 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Apa arti menjadi seorang muslim di Indonesia di penghujung 2000-an? Film Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam) punya jawaban penting dan menarik: penyaluran hasrat cinta dan gelar kesarjanaan. Sebelumnya, penyaluran hasrat cinta tak pernah sedemikian penting dalam sejarah aspirasi kaum muslimin di Indonesia. Paling tidak, hal itu tak menjadi tema utama dalam film-film Indonesia dahulu.

Dalam film dengan simbolisasi Islam yang kuat seperti Al Kautsar (1977), penyaluran hasrat cinta (baca: sex dalam arti luas) menjadi sub-plot dalam konflik antara pengajaran Islam modern dan tradisional. Sub-plot ini lalu menjadi persoalan ketika tokoh utama yang diperankan Rendra memberi pertolongan napas buatan dari mulut ke mulut terhadap anak guru ngaji yang suka padanya. Ia pun dianggap sebagai guru cabul.

Pada Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959/1982), soal ini menjadi latar belakang konflik tajam dan bagian dari kriminalitas yang harus diselesaikan oleh tokoh utama film itu (El Manik). Pada Nada dan Dakwah (1990), penyaluran hasrat tidak tampil di tingkat teks, dan doktrin Islam digunakan untuk melawan kapitalis komprador. Skenario ketiga film itu ditulis oleh Asrul Sani.

Institusi penyaluran hasrat cinta manusia tidak dipersoalkan pada ketiga film itu. Aspirasi tokoh-tokoh utama film-film ini serupa dengan aspirasi Asrul Sani yang ia tuliskan dalam "Surat Kepercayaan Gelanggang" yaitu menjadi manusia modern dan menganjurkan perubahan menuju modernitas.

Dalam Nada dan Dakwah, aspirasi mereka bahkan dekat dengan perlawanan terhadap penyesuaian struktural (structural adjustment) yang dipelopori para pemikir underdevelopment studies generasi awal di kawasan Amerika Selatan seperti Andre Gunder-Frank dan Fernando Cardoso dalam melawan arus modal global.

Pada dua film yang diadaptasi dari dua novel karya Habiburrahman El-Shirazi, Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, penyaluran hasrat dimasalahkan dan menjadi bangunan utama konflik yang harus diselesaikan tokoh utamanya.

Tiga preposisi disodorkan kedua film tersebut guna memperlancar perbincangan soal penyaluran hasrat ini dalam konteks ajaran Islam. Ketiga hal itu adalah: pertama, mengasingkan diri ke Mesir sehingga tak perlu terlibat perbincangan masalah dalam negeri kontemporer. Kedua, lingkungan yang memungkinkan berjalannya logika-logika naskh (teks agama) Islam menjadi argumen utama. Ketiga, idealisasi karakter utama yang menjadi basis bagi kepahlawanan sang tokoh.

Maka hasilnya adalah model keislaman yang steril dari problem-problem sosial-politik dalam negeri dan tertutup dari diskursus di luar naskh keislaman serta tawaran mimpi baru berupa tokoh sempurna bagai nabi. Jika selama ini mimpi yang dijual adalah kekayaan yang bergabung dengan kebaikan dan ketampanan (seperti tokoh si Boy), maka mimpi itu kini berganti dengan kemampuan mengutip naskh Islam seperti Quran dan Hadist atau karya-karya ulama Islam. Sumber kemampuan ini adalah pendidikan.

Sebetulnya, adanya pendidikan sebagai bagian dari kepahlawanan dalam film Indonesia sama sekali tidak baru. Tokoh si Boy, Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta? bahkan Raditya Dika dalam Kambing Jantan, sama-sama menempatkan pendidikan sebagai atribut penting. Namun pendidikan dalam film-film itu bermakna lain dengan pendidikan dalam Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.

Pendidikan dalam Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih berfungsi memecahkan persoalan percintaan. Fahri dalam AAC meminta nasehat profesornya untuk memecahkan kebingungannya menghadapi para perempuan yang mengiriminya surat cinta. Fahri maupun Azzam (dalam KCB) sama-sama menjadikan pendidikan sebagai sarana meningkatkan status sosial dalam berhadapan dengan calon istri mereka.

Bahkan, pada tokoh Azzam dalam KCB, pendidikan direduksi menjadi gelar kesarjanaan baik S1, S2 dan S3. Berkali-kali soal gelar yang spesifik itu disebutkan dalam film, ketimbang substansi proses pendidikan. Pendidikan dalam film ini hanya menjadi pelengkap dari urusan penyaluran hasrat cinta.

Bandingkan reduksi makna pendidikan ini dengan gagasan pendidikan dalam pandangan Asrul Sani dalam film-film yang disebutkan di atas. Pendidikan dalam Al Kautsar< berarti reformasi keberislaman. Reformasi ini berarti juga melawan kejumudan dan ketundukan orang berilmu terhadap penguasa yang batil.

Pada Titian Serambut Dibelah Tujuh, tokoh utamanya adalah seorang guru. Ia bertugas mengajarkan agama tapi harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ajaran agama tak berarti di tengah masyarakat yang sudah abai terhadap nilai kemanusiaan yang mendasar.

Sang guru yang tampak agak bimbang dan tak berdaya ini kemudian menjadi pahlawan karena masyarakat tergugah oleh usaha kerasnya memperbaiki keadaan. Pada film ini, Asrul Sani tampak percaya bahwa pendidikan adalah jalan bagi kaum Muslimin tak hanya dalam mengajarkan agama tetapi juga membawa rahmatan lil alamin dan menggerakkan lingkungan terdekatnya untuk menjadi lebih baik.

Pada Nada dan Dakwah, pendidikan menjadi radikal. Pendidikan dengan pengajian sistem sel membawa kesadaran kelas yang disalurkan dalam bentuk kerja guna mencapai kemandirian. Kelompok-kelompok pengajian sel itu tak hanya mengajarkan agama, tapi juga teknik pertanian. Itu agar mereka tak tergantung pada lintah darat dan meningkatkan posisi tawar di hadapan kaum kapitalis lokal yang menjadi perpanjangan tangan modal asing yang ingin mengubah kawasan agraris menjadi kawasan industrial.

Di film itu tampak Asrul Sani percaya bahwa pendidikan Islam tak hanya bisa membuat orang semakin saleh, tapi juga mandiri secara ekonomi dan sadar akan posisi politik mereka.

Ini berbeda dengan kedua tokoh dalam AAC dan KCB itu. Mereka lebih suka mendikusikan teks Islam secara esoterik dengan lingkungannya sendiri ketimbang berada di lingkungan yang menantang mereka dan kemudian bersikap terhadapnya.

Tampaknya pencarian kaum Muslim akan posisi nyaman mereka di negeri ini sudah menemukan titik berlabuh. Jika selama ini kaum Muslim berusaha mencari tempat dalam sejarah dan mencari pengakuan dalam pembaruan seperti yang dilakukan Asrul Sani, kini umat Islam lebih senang "ber-uzlah kolektif ke Mesir" dengan alasan pendidikan.

Namun akses pendidikan yang membentuk lapisan kelas menengah Muslim itu ternyata tak membuat mereka kritis. Mereka tetap mewarisi sifat dasar kelas menengah Indonesia yang cenderung apolitis, termasuk kebutuhan eskapisme mereka. Posisi politik dan sosial umat Islam sendiri kini memang relatif aman dan lapang. Itu kemudian diiringi dengan pencarian kemapanan dan kenyamanan.

Namun, ada hal yang masih mengganjal. Pertama, ada aspirasi lain yang juga membutuhkan ruang untuk berbagi dan seperti apa posisi mereka dalam skema representasi film seperti AAC dan KCB? Mereka adalah orang-orang yang "salah jalan" dan kemudian "bertobat". Apakah tak ada ruang lain selain itu? Mungkin dalam kehidupan nyata ada, tetapi AAC dan KCB tak memperlihatkannya.

Kedua, posisi steril para pahlawan Muslim dalam kedua film itu sesungguhnya melenakan. Pada dasarnya film memang bekerja untuk mencapai aspirasi yang tak bisa dicapai dalam kehidupan nyata. Dan jika kondisi steril itu yang menjadi mimpi diam-diam para pemuda Islam, saya kuatir negeri ini akan kehilangan sumbangan tenaga yang besar untuk mengurusi soal-soal bersama yang jauh dari selesai.

ERIC SASONO, kritikus film dan redaktur www.rumahfilm.org

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Search

Start Searching

Find exactly

what you want.

Yahoo! Groups

Cat Group

Join a group for

people who love cats

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

.

__,_._,___

No comments: