CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, November 17, 2008

[ketika_cinta_bertasbih] Trs: Ketika Mas Gagah Pergi

Sepertinya kalo di Film-kan...boleh juga..!!

--- Pada Kam, 7/8/08, andik indrawan <jogja_karta@yahoo.com> menulis:
Dari: andik indrawan <jogja_karta@yahoo.com>
Topik: Ketika Mas Gagah Pergi
Kepada: winnertexcommunity@yahoogroups.com
Cc: "ari alamsyah" <arie_alamsyah@yahoo.com>, "Endah - Anis" <garmentmgl@sumbiritex.com>, "bambang benk2" <bambang_rl@yahoo.com>, design1@namnamjkt.co.id, erna.widiyaningsih@honeylady.com, party@fotexco.com, "Jomblo Adalah Pilihan" <asep@comlabs.itb.ac.id>, "Gilang Putra" <gilang.putra@sot.co.id>, "Alita Ramadhani" <merch4@kyungseung.com>, "Luvia Setia Rini" <zalwa26@yahoo.com>, "Widiatmoko" <widi_wiwid9424@yahoo.com>, "- HGPI/ Eurogate Indonesia - Wiwin" <wiwin@iguana-world-id.com>, fenny.star@yahoo.co.id, arya_ieu@yahoo.com
Tanggal: Kamis, 7 Agustus, 2008, 2:39 PM

Cerita yang sangat  bagus!!..  > Ketika Mas Gagah Pergi > Oleh : Helvi Tyana Rosa >   > Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, > sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar > berubah! >   > Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI > semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, > periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu > membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat > untuk anak-anak SMA. >   > Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di > antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang > menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan > membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang > sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu > melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak > bagiku. >   > Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau > ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan > menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau > konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas > Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai > hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan > putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai > kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu > di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol. >   > Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga > atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak > teman-temanku menyukai sosoknya. >   > "Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih > kosong nggak sih?" >   > "Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang > orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama > Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!" >   > "Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?" >   > Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke > kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga. >   > Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga > punya pacar. Apa jawabnya? >   > "Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. > Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga > yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura > serius. >   > Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba > segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut > menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan > shalat! >   > Itulah Mas Gagah! >   > Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa > bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak > mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah > yang kubanggakan kini entah kemana… >   > "Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku > kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak > ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. > Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. > Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku > bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam! >   > "Assalaamu'alaikum!"seruku. >   > Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. >   > "Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada > apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. >   > "Matiin kasetnya!"kataku sewot. >   > "Lho memangnya kenapa?" >   >   > "Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! > Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab > gitu!" aku cemberut. >   > "Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, > Gita!" >   > "Bodo!" >   > "Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas > melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di > kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin > waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama > bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." >   > "Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin > kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara > aneh dari kamar Mas!" >   > "Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…" >   > "Pokoknya kedengaran!" >   > "Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid > yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!" >   > "Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku > ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. >   > Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik > Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, > Elton John, Queen, Eric Claptonnya?" >   > "Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion > atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi > pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau > denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" > begitu kata Mas Gagah. >   > Oala. >   > Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. > Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru > kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan > itu. Walau bingung untuk mencernanya. >   > Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat > waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. > Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi > ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke > kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang > dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya > "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai > rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau > baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, > ngapain sih rambut ditrondolin begitu!" >   > Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat > penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! > Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah > keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia > sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh > sekarang pakai panggil adik manis segala! >   > Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. > Sering juga Mama menegurnya. >   > "Penampilanmu kok sekarang lain Gah?" >   > "Lain gimana Ma?" >   > "Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya > kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover > boy itu…" >   > Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi > meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun." >   > Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih > kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang > dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi > mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir > kami. "Untung aja masih lebih ganteng." >   > Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. > Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas > Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males > banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. > Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah > rumah kebingungan. >   > Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama > perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?" >   > "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan > tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar > Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. > Sama aja nggak menghargai orang!" >   > "Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas > begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat > sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun > tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!" >   > Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang > bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?" >   > Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya > kepadaku."Baca!" >   > Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi > Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan > tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits > Bukhori Muslim." >   > Mas Gagah tersenyum. >   > "Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, > Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku. >   > "Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan > terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. > "Coba untuk mengerti ya dik manis?" >   > Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku > ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. >   > Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa > dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia > terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya > aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas > sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun > tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata > batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia > berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. >   > "Mau kemana Gita?" >   > "Nonton sama temen-temen." Kataku sambil > mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton > sekarang kebanyakan nolaknya." >   > "Ikut Mas aja yuk!" >   > "Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita > kayak orang bego di sana!" >   > Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah > mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah > juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. > Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang > kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan > memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel > kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa > disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju > panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak > sambil ngancam nggak mau ikut. >   > "Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa > lelaki. >  >  > Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah > dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan > teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak > ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah. >   > "Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku > iseng. >   > Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. > Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka > padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome. > Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. > "Ssssttt." >   > Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti > ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran > atau bahasa Arab… yaa begitu deh! >   > "Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" > Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman > akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. > Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya. >   > "Ikhwan?' ulangku. "Makanan apaan tuh? > Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras > membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. >   > "Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan > akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara > seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa > mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis > kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." >   > Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas > Gagah. >   > "Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku > Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang > agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas > Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha > mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang > belum ngerti dan sering salah paham." >   > Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat > dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia > menjelma begitu dewasa. >   > "Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! > Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai > pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba. >   > "Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas > Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura > cuek tak peduli. Aku sedih…" >   > Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup > angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini > denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita > banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana. >   > "Mbak Ana?" >   > "Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang > dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah. >   > "Hidayah." >   > "Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak > Ana!" >   > "Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" > tegurku ramah. >   > 'Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah > bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura > marah, usai menjawab salamku. >   > "Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. > "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari > kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar > pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik > yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi > buku keislaman… >   > "Cuma lagi baca!" >   > "Buku apa?" >   > "Tumben kamu pingin tahu?" >   > "Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku. >   > "Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan > bukunya. > Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. > "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah > dibacanya dengan wajah yang setengah memerah. >   > "Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. > Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh > dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu. >   > "Maaas…" >   > "Apa Dik Manis?" >   > "Gita akhwat bukan sih?" >   > "Memangnya kenapa?" >   > "Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku > manja. >   > Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, > ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang > ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. > Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran > fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan > untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali > menemukan Mas Gagahku yang dulu. >   > Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia > tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak > pernah kulihat sebelumnya. >   > "Mas kok nangis?" >   > "Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering > dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran > dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas > bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, > saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang > digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur > beratap langit." >   > Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini > ternyata sangat perasa. Sangat peduli… >   > "Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya > Mas Gagah tiba-tiba. >   > "Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku > sekenanya. >   > "Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?" >   > "Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, > Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh > meskipun tidak begitu mendalam. >   > Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. > Kayaknya aku dapat hidayah. >   > Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi > seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini > berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda > Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke > tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku > dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama > dan Papa juga ikut. >   > "Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi > relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku. > Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, > "Iya deh, iya!" >   > Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan > temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak > bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. > Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, > para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil > mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam > perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana > hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh > menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan > semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi > ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek. > Aku nyengir kuda. >   > Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya > aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok > panjang, ketawa nggak cekakaan. > "Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu > ketika. > "Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum > mau deh jreng. >   > Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai > jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama." >   > Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya > dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang > wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau. >   > "Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku > memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek > masa depan dan semacamnya. >   > "Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah > mengerti jalan pikiranku. > Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier > itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah. >   > "Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk > di samping beliau senyum-senyum. >   > "Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, > baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah. >   > "Lho! " Mas Gagah bengong. >   > Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. > Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang > diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu > pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta > rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas > Gagah-ku!" >   > Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi > yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua > hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih > mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua > pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, > "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang > disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh > kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar. >   > Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah > masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. > "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan > martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena > mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai > identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah > kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah. > Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati. >   > Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku > mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab > yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang > dan berulang kali mengucap hamdallah. >   > Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa > dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku > akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian > mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang > tahun ketujuh belasku. > Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi > aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran > yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak > yatim piatu dekat rumah kami. >   > "Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! > Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang. >   > "Mas Gagah belum pulang. " > kata Mama. >   > "Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku. >   > "Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung > berangkat dari kampus…" >   > "Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan > suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. " >   > "Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama > Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku. >   > Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku > kangen sekali sama Mas Gagah. >   > "Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama > tertawa. > Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum > pada Mama. >   > Sudah lepas Isya' Mas Gagah belum pulang juga. >   > "Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan > jauh.." hibur Mama lagi. >   > Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam > sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga. >   > "Nginap barangkali, Ma." Duga Papa. >   > Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu > bilang, Pa." >   > Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih > itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera > pulang dan melihatku memakainya. >   > "Kriiiinggg!" telpon berdering. >   > Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? > Gagah?" >   > "Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas. >   > "Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara > Papa lemah. >   > "Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku > lemas. > Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. > Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah. >   > Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring > lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi > yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai > Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas > Gagah kritis. > Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan. >   >   > " Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau > melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada > dokter dan suster di depanku. >   > Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, > sabar." >   > Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter > yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram. >   > "Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? > Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa > ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus > mengalir. >   > Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan > dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, > tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak > bergerak. >   > "Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah > menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku. >   > Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar > ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak > paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi > kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan > Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat > juga." >   > Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri > kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan > Gi.." >   > "Gita…" suaraku serak menahan tangis. >   > Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai > permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan > saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir > dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!. >   > "Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik. >   > Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin > mengucapkan sesuatu. > Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai > jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan > pada tangannya." >   > Tubuh Mas Gagah bergerak lagi. >   > "Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang > lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. > Wajah itu begitu tenang. >   > "Gi..ta…" > Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali. >   > "Gita di sini, Mas…" > Perlahan kelopak matanya terbuka. >   > "Aku tersenyum."Gita…udah > pakai…jilbab…" kutahan isakku. > Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah > mengucapkan sesuatu seperti hamdallah. >   > "Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku > pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan > sesuatu. >   > Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU > memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku > keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus > sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter > mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua > berkumpul. >   > Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi > sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih > bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa > membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata. >   > Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama > Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam > tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat > menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan > beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku > pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang > terbaik bagi Mas Gagah. >   > "Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul > …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan > untuk bisa kami dengar. >   > Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas > senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur > kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami > bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas > Gagah. >   > Epilog: >   > Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur > yang berkah, > Dan jadilah muslimah sejati > Agar Allah selalu besertamu. > Sun sayang, > Mas Ikhwan, eh Mas Gagah! >   > Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan > memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, > manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan > kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. >   > Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu > panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu > diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah > melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar > lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang > menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d > iruangan ini. >   > Setitik air mataku jatuh lagi. >   > "Mas, Gita akhwat bukan sih?" >   > "Ya, insya Allah akhwat!" >   >   > "Yang bener?" >   > "Iya, dik manis!" >   > "Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!" >   > "Kok nanya gitu sih?" >   > "Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?" >   > "Ganteng kan?" >   > "Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu > apa sih?" >   > "Ya always dong, jihad itu…" >   > Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. > Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat > jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah! 


Berbagi video sambil chatting dengan teman di Messenger.
Sekarang bisa dengan Yahoo! Messenger baru.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Featured Y! Groups

and category pages.

There is something

for everyone.

Yahoo! Groups

Going Green Zone

Learn to go green.

Save energy. Save the planet.

.

__,_._,___

No comments: