CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Tuesday, November 18, 2008

Bls: [ketika_cinta_bertasbih] Trs: Ketika Mas Gagah Pergi

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh...
Subhanallah... ceritanya sungguh bagus...
aQ sampai menitikkan air mata saking terharunya...
 


Dari: andik indrawan <jogja_karta@yahoo.com>
Kepada: KCB Millis <ketika_cinta_bertasbih@yahoogroups.com>; Candra <candra-sekhar@indomarco.co.id>
Terkirim: Selasa, 18 November, 2008 09:33:33
Topik: [ketika_cinta_bertasbih] Trs: Ketika Mas Gagah Pergi

Sepertinya kalo di Film-kan...boleh juga..!!

--- Pada Kam, 7/8/08, andik indrawan <jogja_karta@ yahoo.com> menulis:
Dari: andik indrawan <jogja_karta@ yahoo.com>
Topik: Ketika Mas Gagah Pergi
Kepada: winnertexcommunity@ yahoogroups. com
Cc: "ari alamsyah" <arie_alamsyah@ yahoo.com>, "Endah - Anis" <garmentmgl@sumbirit ex.com>, "bambang benk2" <bambang_rl@yahoo. com>, design1@namnamjkt. co.id, erna.widiyaningsih@ honeylady. com, party@fotexco. com, "Jomblo Adalah Pilihan" <asep@comlabs. itb.ac.id>, "Gilang Putra" <gilang.putra@ sot.co.id>, "Alita Ramadhani" <merch4@kyungseung. com>, "Luvia Setia Rini" <zalwa26@yahoo. com>, "Widiatmoko" <widi_wiwid9424@ yahoo.com>, "- HGPI/ Eurogate Indonesia - Wiwin" <wiwin@iguana- world-id. com>, fenny.star@yahoo. co.id, arya_ieu@yahoo. com
Tanggal: Kamis, 7 Agustus, 2008, 2:39 PM

Cerita yang sangat  bagus!!..  > Ketika Mas Gagah Pergi > Oleh : Helvi Tyana Rosa >   > Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, > sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar > berubah! >   > Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI > semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, > periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu > membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat > untuk anak-anak SMA. >   > Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di > antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang > menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan > membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang > sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu > melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak > bagiku. >   > Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau > ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan > menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau > konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas > Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai > hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan > putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai > kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu > di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol. >   > Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga > atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak > teman-temanku menyukai sosoknya. >   > "Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih > kosong nggak sih?" >   > "Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang > orang rumahku suka membanding-bandingk an teman cowokku sama > Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!" >   > "Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?" >   > Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke > kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga. >   > Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga > punya pacar. Apa jawabnya? >   > "Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. > Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga > yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura > serius. >   > Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba > segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut > menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan > shalat! >   > Itulah Mas Gagah! >   > Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa > bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak > mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah > yang kubanggakan kini entah kemana… >   > "Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh! " teriakku > kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak > ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. > Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. > Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku > bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam! >   > "Assalaamu'alaikum! "seruku. >   > Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. >   > "Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada > apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. >   > "Matiin kasetnya!"kataku sewot. >   > "Lho memangnya kenapa?" >   >   > "Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! > Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab > gitu!" aku cemberut. >   > "Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, > Gita!" >   > "Bodo!" >   > "Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas > melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di > kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin > waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama > bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." >   > "Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin > kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara > aneh dari kamar Mas!" >   > "Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…" >   > "Pokoknya kedengaran!" >   > "Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid > yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!" >   > "Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku > ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. >   > Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik > Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, > Elton John, Queen, Eric Claptonnya?" >   > "Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion > atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi > pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau > denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" > begitu kata Mas Gagah. >   > Oala. >   > Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. > Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru > kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan > itu. Walau bingung untuk mencernanya. >   > Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat > waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. > Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi > ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke > kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang > dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya > "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai > rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau > baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, > ngapain sih rambut ditrondolin begitu!" >   > Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat > penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! > Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah > keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia > sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh > sekarang pakai panggil adik manis segala! >   > Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. > Sering juga Mama menegurnya. >   > "Penampilanmu kok sekarang lain Gah?" >   > "Lain gimana Ma?" >   > "Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya > kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover > boy itu…" >   > Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi > meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun." >   > Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih > kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang > dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi > mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir > kami. "Untung aja masih lebih ganteng." >   > Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. > Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas > Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males > banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. > Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah > rumah kebingungan. >   > Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama > perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?" >   > "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan > tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar > Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. > Sama aja nggak menghargai orang!" >   > "Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas > begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat > sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun > tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!" >   > Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang > bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya? " >   > Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya > kepadaku."Baca! " >   > Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi > Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan > tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits > Bukhori Muslim." >   > Mas Gagah tersenyum. >   > "Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, > Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku. >   > "Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan > terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. > "Coba untuk mengerti ya dik manis?" >   > Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku > ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. >   > Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa > dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia > terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya > aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas > sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun > tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata > batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia > berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. >   > "Mau kemana Gita?" >   > "Nonton sama temen-temen. " Kataku sambil > mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton > sekarang kebanyakan nolaknya." >   > "Ikut Mas aja yuk!" >   > "Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita > kayak orang bego di sana!" >   > Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah > mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah > juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. > Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang > kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan > memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel > kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa > disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju > panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak > sambil ngancam nggak mau ikut. >   > "Assalamualaikum! " terdengar suara beberapa > lelaki. >  >  > Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah > dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan > teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak > ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah. >   > "Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku > iseng. >   > Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. > Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka > padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome. > Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. > "Ssssttt." >   > Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti > ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran > atau bahasa Arab… yaa begitu deh! >   > "Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" > Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman > akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. > Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya. >   > "Ikhwan?' ulangku. "Makanan apaan tuh? > Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras > membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. >   > "Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan > akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara > seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa > mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis > kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." >   > Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas > Gagah. >   > "Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku > Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang > agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas > Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha > mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang > belum ngerti dan sering salah paham." >   > Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat > dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia > menjelma begitu dewasa. >   > "Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! > Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai > pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba. >   > "Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas > Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura > cuek tak peduli. Aku sedih…" >   > Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup > angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini > denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita > banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana. >   > "Mbak Ana?" >   > "Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang > dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah. >   > "Hidayah." >   > "Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak > Ana!" >   > "Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" > tegurku ramah. >   > 'Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah > bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura > marah, usai menjawab salamku. >   > "Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. > "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari > kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar > pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik > yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi > buku keislaman… >   > "Cuma lagi baca!" >   > "Buku apa?" >   > "Tumben kamu pingin tahu?" >   > "Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku. >   > "Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan > bukunya. > Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. > "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah > dibacanya dengan wajah yang setengah memerah. >   > "Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. > Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh > dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu. >   > "Maaas…" >   > "Apa Dik Manis?" >   > "Gita akhwat bukan sih?" >   > "Memangnya kenapa?" >   > "Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku > manja. >   > Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, > ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang > ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. > Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran > fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan > untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali > menemukan Mas Gagahku yang dulu. >   > Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia > tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak > pernah kulihat sebelumnya. >   > "Mas kok nangis?" >   > "Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering > dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran > dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas > bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, > saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang > digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur > beratap langit." >   > Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini > ternyata sangat perasa. Sangat peduli… >   > "Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya > Mas Gagah tiba-tiba. >   > "Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku > sekenanya. >   > "Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?" >   > "Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, > Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh > meskipun tidak begitu mendalam. >   > Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. > Kayaknya aku dapat hidayah. >   > Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi > seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini > berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda > Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke > tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku > dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama > dan Papa juga ikut. >   > "Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi > relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku. > Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, > "Iya deh, iya!" >   > Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan > temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak > bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. > Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, > para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil > mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam > perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana > hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh > menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan > semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi > ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek. > Aku nyengir kuda. >   > Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya > aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok > panjang, ketawa nggak cekakaan. > "Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu > ketika. > "Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum > mau deh jreng. >   > Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai > jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama." >   > Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya > dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang > wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau. >   > "Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku > memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek > masa depan dan semacamnya. >   > "Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah > mengerti jalan pikiranku. > Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier > itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah. >   > "Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk > di samping beliau senyum-senyum. >   > "Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, > baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah. >   > "Lho! " Mas Gagah bengong. >   > Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. > Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang > diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu > pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta > rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas > Gagah-ku!" >   > Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi > yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua > hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih > mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua > pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, > "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang > disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh > kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar. >   > Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah > masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. > "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan > martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena > mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai > identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah > kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah. > Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati. >   > Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku > mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab > yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang > dan berulang kali mengucap hamdallah. >   > Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa > dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku > akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian > mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang > tahun ketujuh belasku. > Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi > aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran > yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak > yatim piatu dekat rumah kami. >   > "Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! > Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang. >   > "Mas Gagah belum pulang. " > kata Mama. >   > "Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku. >   > "Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung > berangkat dari kampus…" >   > "Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan > suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. " >   > "Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama > Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku. >   > Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku > kangen sekali sama Mas Gagah. >   > "Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama > tertawa. > Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum > pada Mama. >   > Sudah lepas Isya' Mas Gagah belum pulang juga. >   > "Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan > jauh.." hibur Mama lagi. >   > Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam > sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga. >   > "Nginap barangkali, Ma." Duga Papa. >   > Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu > bilang, Pa." >   > Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih > itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera > pulang dan melihatku memakainya. >   > "Kriiiinggg! " telpon berdering. >   > Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? > Gagah?" >   > "Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas. >   > "Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara > Papa lemah. >   > "Mas Gagaaaaahhhh! !!" Air mataku tumpah. Tubuhku > lemas. > Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. > Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah. >   > Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring > lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi > yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai > Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas > Gagah kritis. > Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan. >   >   > " Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau > melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada > dokter dan suster di depanku. >   > Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, > sabar." >   > Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter > yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram. >   > "Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? > Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa > ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus > mengalir. >   > Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan > dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, > tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak > bergerak. >   > "Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah > menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku. >   > Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar > ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak > paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi > kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan > Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat > juga." >   > Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri > kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan > Gi.." >   > "Gita…" suaraku serak menahan tangis. >   > Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai > permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan > saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir > dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!. >   > "Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik. >   > Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin > mengucapkan sesuatu. > Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai > jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan > pada tangannya." >   > Tubuh Mas Gagah bergerak lagi. >   > "Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang > lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. > Wajah itu begitu tenang. >   > "Gi..ta…" > Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali. >   > "Gita di sini, Mas…" > Perlahan kelopak matanya terbuka. >   > "Aku tersenyum."Gita…udah > pakai…jilbab…" kutahan isakku. > Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah > mengucapkan sesuatu seperti hamdallah. >   > "Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku > pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan > sesuatu. >   > Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU > memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku > keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus > sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter > mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua > berkumpul. >   > Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi > sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih > bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa > membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata. >   > Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama > Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam > tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat > menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan > beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku > pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang > terbaik bagi Mas Gagah. >   > "Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul > …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan > untuk bisa kami dengar. >   > Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas > senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur > kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami > bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas > Gagah. >   > Epilog: >   > Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur > yang berkah, > Dan jadilah muslimah sejati > Agar Allah selalu besertamu. > Sun sayang, > Mas Ikhwan, eh Mas Gagah! >   > Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan > memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, > manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan > kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. >   > Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu > panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu > diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah > melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar > lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang > menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d > iruangan ini. >   > Setitik air mataku jatuh lagi. >   > "Mas, Gita akhwat bukan sih?" >   > "Ya, insya Allah akhwat!" >   >   > "Yang bener?" >   > "Iya, dik manis!" >   > "Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!" >   > "Kok nanya gitu sih?" >   > "Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?" >   > "Ganteng kan?" >   > "Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu > apa sih?" >   > "Ya always dong, jihad itu…" >   > Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. > Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat > jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah! 


Berbagi video sambil chatting dengan teman di Messenger.
Sekarang bisa dengan Yahoo! Messenger baru.



Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Moderator Central

Get answers to

your questions about

running Y! Groups.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Find helpful tips

for Moderators

on the Yahoo!

Groups team blog.

.

__,_._,___

No comments: