CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, September 22, 2008

[ketika_cinta_bertasbih] Sindrom Ayat-Ayat Cinta

Akhir-akhir ini cerita perihal suka duka mahasiswa Indonesia di
Universitas Al-Azhar, Mesir, makin marak dibincangkan. Gairah itu
muncul seiring dengan fenomena novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya
Habiburrahman El-Shirazy yang berhasil menembus angka penjualan lebih
dari 400.000 eksemplar. Fahri, tokoh utama novel itu, berhasil menyita
perhatian ratusan ribu pembaca untuk mengenal lebih jauh tentang
liku-liku kehidupan mahasiswa Indonesia di Kairo. Bahkan ada sebagian
besar penikmat novel yang terjerembab pada fanatisme berlebihan
terhadap sosok Fahri yang digambarkan sebagai laki-laki tanpa cela,
tak pernah salah, apalagi berdosa. Idealisasi yang utopia dan sukar
ditemukan dalam realitas yang sesungguhnya.

Barangkali itu sebabnya, setelah Ayat-ayat Cinta, berhamburan pula
novel-novel pengekor dengan modus pengisahan yang kurang lebih sama,
bahkan formulasi judul dan nama pengarangnya dirancang hampir-hampir
mirip. Salah satunya Bait-bait Cinta (2008) karya Geidurrahman El
Mishry yang penjualannya telah menembus angka 35.000 eksemplar. Meski
terbilang pengekor, novel ini menyangkal idealisasi tokoh imajiner
yang serbasempurna dalam AAC. Pengarangnya berusaha membangun
idealisasi yang lebih realistis, lebih manusiawi, dan sesekali bisa
khilaf berbuat dosa.

Langit Mekah Berkabut Merah ini novel kedua Geidurrahman setelah
sukses dengan Bait-bait Cinta (BBC). Setali tiga uang dengan AAC dan
BBC, lagi-lagi ''lakon''-nya mahasiswa Al-Azhar. Namanya Firdaus, yang
tampil sebagai laki-laki ''nakal'', gemar gonta-ganti cewek, bahkan
berani menikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua. Pusaran
kisahnya tidak di Kairo, tapi di Mekah, Saudi Arabia. Cerita berangkat
dari pengalaman tragis Midah, TKW asal Indonesia yang kabur dari rumah
majikan setelah berkali-kali nyaris diperkosa. Ia terlunta-lunta di
penampungan tak resmi lantaran KJRI tidak sanggup lagi menampung
TKW-TKW bermasalah. Pada saat yang sama, Firdaus sedang bertugas
sebagai temus (tenaga musiman), selama musim haji di Mekah.

Perwatakan Firdaus bertolak belakang dengan karakter Fahri yang
serbaideal dalam AAC. Ada dua perempuan yang ditaksir lelaki itu
sebelum ia jatuh hati pada Midah. Ia tergoda oleh kecantikan Thien,
dokter muda, petugas medis di Mekah selama musim haji. Pada saat yang
sama Firdaus juga menaruh hati pada Dina, putri pejabat tinggi yang
memilih Firdaus sebagai pemandu keluarganya selama menjalankan ibadah
haji. Kepribadiannya rapuh, labil, bahkan bisa disebut ''mata
keranjang''. Meski begitu, petualangan cintanya terasa lebih masuk
akal, tidak utopia sebagaimana idealisasi Habiburrahman dalam AAC.

Selain romantika yang mengasyikkan, novel ini juga menyingkap silang
sengkarut persoalan yang mendera para pahlawan devisa yang mendulang
rupiah di Timur Tengah. Midah sudah mengadukan persoalannya ke KJRI
Jeddah, tapi alih-alih mendapatkan perlindungan, ia malah disalahkan
karena kabur dari rumah majikan. Akhirnya Midah jatuh ke tangan Ubed,
lelaki pemilik tempat penampungan tak resmi untuk TKW-TKW bermasalah.
Uluran tangan Ubed bukan tanpa pamrih. Ia berkenan membantu karena
Midah masih belia, dan tentu saja; cantik. Ubed berhasrat hendak
mempersuntingnya sebagai istri ketiga setelah ia menikahi dua TKW
telantar lainnya yang juga ia ''simpan'' di penampungan itu. Untunglah
Firdaus buru-buru menghalangi niat Ubed, teman karibnya itu. Lagi
pula, setelah Firdaus mengenal Midah, ternyata ia adalah anak
perempuan guru mengajinya sewaktu kecil di Indramayu. Midah dan
Firdaus berasal dari daerah yang sama. Ubed berbalik untuk
bersungguh-sungguh membantu Midah, karena ia tahu, Firdaus telah jatuh
hati pada gadis lesung pipit itu.

Hubungan Midah dan Firdaus ternyata tak segampang yang mereka
pikirkan. Firdaus yang tidak tahan melihat perempuan cantik, kena
batunya. Dokter Thien ditemukan mati mengenaskan di lembah antara
Jabal Nur dan Jabal Rahmah. Ada seragam temus atas nama Firdaus tak
jauh dari mayat korban pemerkosaan dan pembunuhan itu. Firdaus
tertuduh sebagai pelakunya. Dalam persidangan, Midah memberi kesaksian
berikut bukti-bukti bahwa pada malam terjadinya pembunuhan itu Firdaus
ada di penampungan tempat tinggal Midah. Kesaksian itu dibenarkan
majlis hakim, karena ternyata kasus ini didalangi oleh Junaidi,
pejabat urusan haji yang menaruh hati pada dokter Thien. Ia cemburu,
karena Thien jatuh hati pada Firdaus. Junaidi memecat Firdaus sebagai
temus, dan memfitnahnya sebagai pelaku pemerkosaan.

Firdaus memang bebas, tapi ganti Midah yang dihadang masalah besar.
Tak lama setelah persidangan Firdaus, bekas majikan Midah dan dua
polisi Saudi datang ke penampungan. Midah ditangkap dengan tuduhan
kabur dan melakukan praktik prostitusi liar di penampungan. Tanpa
pengadilan Midah divonis dengan hukuman cambuk. Sebelum eksekusi,
Midah diperkosa oleh petugas-pertugas berseragam secara bergiliran,
hampir tiap hari. Bahkan ketika Midah sedang haid, mereka terus saja
melakukannya. Waktu itu, Firdaus sudah meninggalkan Mekah, ia berada
di Jakarta, di rumah Dina Oktaviola, putri pejabat yang baru saja
dinikahinya. Ia tersentak setelah menyaksikan tayangan televisi yang
memberitakan bahwa seorang TKW asal Indonesia akan dieksekusi dengan
hukuman cambuk. TKW itu Midah, perempuan yang lebih dicintainya
ketimbang istrinya sendiri.

Meski Firdaus datang ke Saudi dengan pengacara, dan telah melakukan
segala upaya agar kasus Midah bisa disidangkan, tapi semuanya sia-sia.
Gadis muda asal Indramayu itu akhirnya harus memasrahkan diri di
hadapan algojo, menerima hukuman cambuk yang bakal melumpuhkan semua
persendian di tubuhnya. Ia meninggal beberapa hari setelah eksekusi.
Firdaus sempat membawanya ke rumah sakit dan Midah sempat pulih. Ia
meninggal bukan karena sakitnya luka akibat lecutan cambuk, tapi
karena Firdaus bersijujur mengakui bahwa ia telah menikahi perempuan
lain. Midah yang peruntungannya tak mujur itu hanya satu dari sekian
banyak gadis-gadis muda Indonesia yang bercita-cita hendak mendulang
rupiah di Timur Tengah, tapi ujung-ujungnya pulang membawa musibah.

Kalau memang novel ini hendak membangun wacana tandingan terhadap
''demam'' Ayat-ayat Cinta, utamanya dalam hal idealisasi tokoh-tokoh
cerita, kenapa nama pengarangnya masih mengekor pada AAC? Bukankah itu
sama saja dengan membangun rumah baru dari puing reruntuhan rumah
lama? Semestinya pengarang berani memosisikan novel ini sebagai karya
yang mampu tegak di atas kaki sendiri, tak harus dijangkiti oleh
''sindrom'' Ayat-ayat Cinta...(*)

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Entertainment

World of Star Wars

Rediscover the force.

Explore now.

Yahoo! Search

Start Searching

Find everything

you're looking for.

Best of Y! Groups

Discover groups

that are the best

of their class.

.

__,_._,___

No comments: