CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sunday, November 2, 2008

[ketika_cinta_bertasbih] Fw: [Muslim_BintaroJaya_BSD] Benarkah Istri Tidak Wajib Masak dan Mengurus Rumah?

Assalamualaykum,
dear members,

For Info.
wassalam

--tokosulaem; jual kaos muslimah QIRANI, bahan sulam pita exclusive, jilbab manik cantik, http://zasafiana.multiply.com

--- On Mon, 3/11/08, sutomo asngadi <sutomo_asngadi@yahoo.com> wrote:
From: sutomo asngadi <sutomo_asngadi@yahoo.com>
Subject: [Muslim_BintaroJaya_BSD] Benarkah Istri Tidak Wajib Masak dan Mengurus Rumah?
To: "muslim Bintaro Jaya BSD" <muslim_bintarojaya_bsd@yahoogroups.com>
Date: Monday, 3 November, 2008, 10:46 AM

Benarkah Istri Tidak Wajib Masak dan Mengurus Rumah?
Rabu, 29 Oktober 2008 11:12
Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz yg dirahmati Allah,

Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah
Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar.
Mudah2an Ustadz masih ingat materi "memuliakan istri",
ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam
hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci,
menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan
meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan
pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra
diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara
gamblang menyertakan hadits/ayat Qur'an yg
mendasarinya. Pertanyaan saya :

1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas,
yang rinci ya ustadz.

2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah,
diantara para ulama, kalo ya, tolong juga disertakan
pendapat2 ulama lainnya.

3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad
SAW, pada saat wukuf diarafah, disebutkan" ...dan
berikanlah istrimu makanan dan pakain yang layak,"
secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan
makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn
makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan
adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini
terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.

Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini
menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah
utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Widia

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya
atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha
Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan
ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf
kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di
hati dan juga merepotkan.

Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya
mendengar bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena
ternyata 'kenikmatan' para bapak selama ini jadi
seperti agak dipertanyakan dasarnya.

Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi
nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat
tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama sudah
tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan
itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu
bisa lihat di pasar dan supermarket di Doha, yang
belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?

Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi
makan adalah bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan
yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah
sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu
kan lihat sendiri di Doha.

Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal
besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah,
saat saya di dalam ketiga mal itu, umumnya saya ketemu
dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya
sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari
bukan ibu, tapi bapak.

Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun,
bukan ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini
juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau
ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang
pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan
alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang
bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari,
selepas bapak-bapak pulang kerja.

Mana Ayat Quran atau Haditsnya?

Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan
sedetail itu, begitu juga dengan hadits nabawi.
Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya
bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib
mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju
adalah para suami.

Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa
kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak
akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.

Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan
Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang
tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil
bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.

Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang
bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini
dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita
bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak
kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata
begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita
bekerja untuk suaminya.

Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi
pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma'
memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh
kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu
ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita
darah biru dari kalangan Bani Quraisy.

Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir
radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah
Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur
ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering
telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya
pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk
memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.

Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan
mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban
memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi
suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib
diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah
SWT :

ÇáÑøöÌóÇáõ ÞóæøóÇãõæäó Úóáóì ÇáäøöÓóÇÁ ÈöãóÇ ÝóÖøóáó
Çááøåõ ÈóÚúÖóåõãú Úóáóì ÈóÚúÖò æóÈöãóÇ ÃóäÝóÞõæÇú ãöäú
ÃóãúæóÇáöåöãú

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Pendapat 5 Mazhab Fiqih

Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan
kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai
mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam
kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.

Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu
mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para
istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk
berkhidmat kepada suaminya.

1. Mazhab al-Hanafi

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan :
Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih
harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk
memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh
dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca
makanan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil
Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri
berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka
istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan
suami harus memberinya makanan siap santan, atau
menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

2. Mazhab Maliki

Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada
disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani)
istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki
sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat,
namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami
adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas
suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.

3. Mazhab As-Syafi'i

Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya
Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan :
Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti,
memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena
yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban
untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan
pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

4. Mazhab Hanabilah

Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada
suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat
roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu
rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam
Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban
pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain
tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi
minum kuda atau memanen tanamannya.

5. Mazhab Az-Zhahiri

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri
ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang
tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri
untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat
lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak
khalifah.

Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa
menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap
santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam.
Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang
bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.

Pendapat Yang Berbeda

Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr.
Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan
pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap
mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar
urusan seks kepada suaminya.

Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu,
mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu
adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami
kepada mereka.

Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal
di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan
dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi
nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan
rumah tangga.

Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti
oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami
itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah
itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah
tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus
'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar
semua biaya kebutuhan rumah tangga.

Yang sering kali terjadi memang aneh, suami
menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban
suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau
masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi
hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang
harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.

Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita
terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji'
yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah
tangga.

Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan

Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata
Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa
menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat
para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan
gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena
hak-hak wanita disana masih saja dikekang.

Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri
sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan
bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu
yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan
jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak,
bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel,
mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di
pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut
malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang,
saat badannya sudah kelelahan.

Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan
ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau
sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT
memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu
sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak
lagi mengaji dan belajar agama Islam.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc



Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Only on Yahoo!

World of Star Wars

Meet fans, watch

videos & more.

Yahoo! Search

Start Searching

Find exactly

what you want.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

.

__,_._,___

No comments: