CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, November 10, 2008

[ketika_cinta_bertasbih] Cadar (Niqab)


Assalamualaikum

Bagi kawan-kawan yang ingin tahu tentang cadar, saya copy kan ke milist ini sebuah makalah yg pernah ditulis oleh seorang ukht di Kairo

semoga bermanfaat

wassalam


Kajian Dwi Mingguan BK 2008-2009

 

Cadar dalam Perspektif Islam

Oleh: Desi Yusdian Lc.

 

I.                   Pendahuluan

 

Islam merupakan syariat yang sangat memuliakan wanita. Di antara bentuk pemulian tersebut adalah perintah Allah Swt. untuk menutup aurat. Ini tidak lain demi kemaslahatan mereka sendiri. Betapa banyak pelecehan yang terjadi di mana-mana. Semua ini tidak lain karena ulah mereka sendiri yang mengumbar aurat. Setelah melihat maslahat yang ada, apakah kita menolak ajaran mulia yang tujuannya untuk menjaga diri kita sendiri? Tentu jawabannya tidak. Kita akan berusaha bagaimana menghiasi diri kita dengan busana yang menutupi aurat.

 

Tentunya sebagai seorang muslimah kita harus mengetahui batasan-batasan aurat tersebut sehingga kita tidak terjerumus dalam dosa. Perbincangan tentang aurat wanita ini merupakan medan yang diperselisihkan oleh para ulama. Terkhusus lagi dalam masalah wajah wanita, apakah ia termasuk aurat yang wajib ditutup ataukah tidak?

 

Perbedaan ini tidak lepas dari perbedaan mereka dalam memahami dan  menginterpretasikan ayat hijab. Tentunya setiap mereka memiliki alasan tersendiri. Jika permasalahnnya seperti ini, bagaimanakan sikap kita sebagai seorang penuntut ilmu agama? Bagaimana seharusnya kita mengambil hukum khilafiyah ini?

 

Semua permasalahan ini tidak terlepas juga dari peran kita nantinya untuk  mengembangkan ilmu kita di maysarakat. Bagaimanakah sikap kita menghadapi masyarakat yang nota benenya menganggap bahwa cadar merupakan ajaran ekstrim atau sebuah bid'ah yang tidak terdapat dalam ajaran Islam. Apakah kita akan memaksakan pada mereka yang pada akhirnya akan berakibat lebih buruk lagi atau kita bisa menimbang-nimbang maslahat yang ada?

 

Isnya Allah dalam makalah singkat ini, penulis akan menjelaskan apakah wajah tersebut merupakan aurat? Apakah memakai cadar tersebut wajib? Dan hal yang paling ditekankan nanti adalah sikap kita di tengah-tengah masyarakat dan bagaimana kita menempatkan diri kita dalam permasalahan ini.

 

II.                Perbedaaan Pendapat dalam Hukum Cadar

 

Dalam permasalahan ini ada dua pendapat:[1]

Pertama, Sebagian Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa semua tubuh wanita aurat, termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Kedua, Jumhur ulama[2] termasuk Imam Malik, Imam Syafii dan Abu Hanifah[3] berpendapat bahwa semua tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan telapak tangan.[4] Sebagian Malikiyah berpendapat bahwa memakai cadar hukumnya wajib jika takut timbul fitnah.

 

Adapun dalil masing-masing pendapat adalah:[5]

Pertama, Dalil Sebagian Syafi'iyah dan Hanabilah yang mengatakan bahwa wajah merupakan aurat[6]:

1.            Firman Allah Swt.:

 

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (An-Nûr: 31)

 

Wajhu al-Dilâlah

Ayat ini mengharamkan seorang wanita untuk memperlihatkan perhiasannya. Perhiasan tersebut terbagi dua. Pertama, perhiasan yang bersifat alami, seperti wajah. Bahkan ia merupakan asal dari kecantikan seorang wanita dan sumber terjadinya fitnah. Kedua, perhiasan yang bukan alami atau disebut juga hiasan tambahan bagi wanita, seperti pakaian, perhiasan, celak dan pewarna. Dalam ayat ini Allah melarang memperlihatkan kedua perhiasan tersebut. Selain itu mereka mentakwilkan makna "Illa mâ zhahara minhâ" dengan sesuatu yang terlihat tanpa sengaja, misalnya jika sebagian betisnya terlihat karena disingkap oleh angin dan lain-lain[7].

 

Sedangkan Ibnu Mas'ud menafsirkan "Illa mâ Zhahara minhâ" dengan pakaian luar yang biasa terlihat. Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran Ibnu Abbas, Aisyah, Anas bin Malik dan yang lainnya.

 

Bantahan:

Allah menyebutkan "kecuali yang (biasa) nampak daripadanya" setelah Dia mengharamkan untuk memperlihatkan perhiasan wanita. Firman-Nya:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (An-Nûr: 31)

 

Jadi hal ini merupakan bentuk keringanan yang diberikan Allah Swt.. Apabila ia diartikan dengan pakaian yang biasa tampak sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Mas'ud, maka itu bukanlah suatu keringanan karena pakaian luar yang biasa tampak merupakan hal yang biasa terjadi dan memang seharusnya ia terlihat karena ia berada di bagian luar.[8]

 

2.            Firman Allah Swt.:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ

"Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal." (Al-Ahzâb: 59)

 

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "Idnâ` al-Jalâbîb[9]" adalah menutupi semua tubuh mereka termasuk wajah dan tidak boleh kelihatan kecuali hanya satu mata.[10] Di antara sahabat yang menafsirkan seperti ini adalah Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan lain-lain.[11]

 

Bantahan:

Penggunaan Idnâ` al-Jalâbîb tidak mesti harus menutupi wajah, karena mungkin saja memanjangkan jalâbîb tanpa harus menutupi wajah. Selain itu dalam menafsirkan Idnâ` al-Jalâbîb ini ulama berbeda pendapat. Jadi berdasarkan perbedaan yang ada, menutup wajah itu bukanlah hal yang wajib.[12]

 

3.            Hadis-hadis sahih yang mengharamkan melihat wanita. Di antaranya:

Jarir bin Abdullah berkata, "Saya bertanya pada Rasulullah tentang melihat tanpa sengaja." Beliau bersabda, "Palingkanlah wajahmu."

 

Rasulullah Saw. berkata pada Ali r.a, "Wahai Ali, janganlah engkau melihat kedua kali setelah pandangan pertama. Bagi kamu pandangan pertama, tidak yang lain. " (HR. Abu Daud)

 

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memboncengkan Fadhlu bin Abbas di belakang beliau pada hari ke sepuluh dzulhijah. Seorang perempuan lalu mendatangi beliau dalam rangka meminta fatwa. Perempuan tersebut melihat pada Fadhlu, begitupun sebaliknya. Rasulullah kemudian memalingkan wajah Fadhlu ke arah lain.

 

4.            Firman Allah Swt.:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

 

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (Al-Ahzâb: 53)

 

Wajhu al-Dilâlah

Ayat ini secara terang-terangan menjelaskan bahwa melihat pada wanita hukumnya haram. Walaupun ia diturunkan terhadap isteri-isteri rasul, tapi hukumnya umum bagi seluruh muslimat. Sebab ilatnya satu yaitu semua wanita itu aurat.[13]

 

Bantahan:

Ayat ini khusus diturunkan pada isteri-isteri Rasulullah. Adapun ungkapan "al-'Ibrah bi 'umûmi al-Lafdzi lâ bi Khushûshi al-Sabâb" tidaklah berlaku dalam permasalahan ini. Sebab lafaz ayat ini tidaklah umum. Adapun menganalogikan seluruh wanita terhadap isteri rasul, tidaklah tepat (Qiyâs ma'a'l Fâriq), sebab isteri-isteri rasulullah memiliki keistimewaan tersendiri sebagaimana firman Allah Swt.:

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ        

"Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain." (Al-Ahzâb: 32)

 

5.            Aisyah r.a meriwayatkan, "Ketika kami (para isteri rasulullah) melakukan ihram bersama Rasulullah, lewatlah para rombongan haji. Ketika mereka beriringan bersama kami, kami mengulurkan jilbab kami dari kepala ke wajah kami. Apabila mereka telah lewat, kami membukanya." (HR: Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqiy)

 

Bantahan:

1.      Hadis ini merupakan hadis yang lemah karena diriwayatnya terdapat Yazid bin Abi Ziyad dan periwayatannya lemah.

2.      Hal ini merupakan perbuatan Aisyah. Perbuatan Rasulullah belum bisa kita mengatakannya wajib, bagaimana dengan perbuatan selain Rasulullah?

3.      Dalam ilmu ushul dikenal istilah "Apabila dalam suatu tindakan itu mengandung kemungkinan lain, maka ia tidak bisa dijadikan dalil". Tindakan yang dilakukan Aisyah ini mengandung kemungkinan bahwa hal itu merupakan hukum khusus bagi isteri rasulullah, sebagaimana keistimewaan-keistimewaan lainnya, seperti mereka tidak boleh dinikahi setelah wafatnya Rasulullah dan lain-lain.[14]  

 

6.       Allah Swt. melarang melihat perempuan disebabkan takut akan terjadi fitnah. Melihat pada wajah akan lebih banyak menimbulkan fitnah daripada melihat telapak kaki, rambut dan lain-lain. Apabila telapak kaki, rambut termasuk aurat, maka wajah lebih utama untuk tidak melihatnya.[15]

 

7.      Sad al-Dzarî'ah.

Sebagian ulama yang mengatakan cadar wajib berlandaskan pada Sad al-Dzari'ah. Yaitu dengan mengharamkan sesuatu yang hukumnya boleh agar tidak terjerumus pada hal yang haram. Oleh karena itu mereka mewajibkan cadar agar orang-orang yang melihat wajah wanita tidak terjerumus pada perbuatan dosa.

 

Bantahan:

Telah menjadi konsensus di kalangan ulama ushul fikih dan fikih bahwa berlebih-lebihan dalam menutup pintu Dzarâi' sama dengan berlebihan-lebihan dalam membuka pintu Dzarâi'. Hal ini ditimbang dari mudharat yang ditimbulkan oleh masing-masing metode tersebut. Contohnya, pada zaman dahulu para ulama melarang anak perempuan keluar dari rumah untuk menuntut ilmu lantaran menutup pintu Dzarâi', namun hasilnya banyak dari mereka yang tidak mengetahui ilmu-ilmu syariat ataupun yang lain. Bahkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum kewanitaan. Oleh karena itu rasulullah bersabda, "Apabila wanita-wanita kamu minta izin ke mesjid, maka beri izinlah mereka." (HR. Muslim)

 

8.      'Urf (kebiasan) beberapa Negara Islam dalam menutup wajah.

Sebagian mereka yang mengatakan cadar hukumnya wajib dengan alasan bahwa ini merupakan kebiasaan umum yang berlaku di beberapa kurun waktu.

 

Bantahan:

1.      'Urf  ini bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat. Sedangkan masa mereka adalah sebaik baik masa.

2.      Kebiasan ini bukanlah kebiasaan yang berlaku umum. Tapi ia berlaku pada sebagian negeri, tidak yang lainnya. Sebab ini merupakan salah satu dari syarat 'urf.

3.      Tindakan Rasulullah dengan tidak memerintahkan para sahabiyat untuk memakai cadar menunjukkan bahwa hal ini bukanlah suatu yang wajib. Tapi ia merupakan hal yang dibolehkan dalam syariat.[16] 

 

9.      Dalil terakhir bagi mereka yang mengatakan wajib adalah rusaknya zaman sekarang dan banyaknya terjadi fitnah. Berbeda dengan zaman rasulullah dan para sahabat. Pada zaman tersebut kondisi masyarakat lebih aman dan tidak ada yang berani untuk melakukan tindak kejahatan terhadap wanita.[17]

 

Bantahan:

1.      Masa  Rasulullah memang merupakan sebaik-baik masa, tapi hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya kejahatan dan pelecehan terhadap wanita. Banyak kita lihat hukuman-hukuman kriminalitas di laksanakan pada masa ini. Misalnya qishâsh, potong tangan dan lain-lain. Begitu juga pelecehan-pelecehan terhadap wanita. Kalau bukan, Allah tidak akan menurunkan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

      "Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

 

2.      Dalil-dalil syariat –apabila telah ditetapkan kesahihannya— bersifat umum dan kekal. Ia tidak ditujukan pada suatu masa, tidak yang lainnya. Apabila ia ditujukan untuk zaman tertentu, berarti hukum syariat itu bersifat sementara waktu. Hal ini bertentangan sekali dengan sifat syariat itu sendiri bahwa ia kekal untuk selama-lamanya.

3.      Jika kita membuka peluang untuk menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang dijalankan pada masa terdahulu, kita akan membuka jalan untuk menghapus syariat dengan pendapat kita sendiri. Dan me-nasikh (membatalkan) sebuah hukum tanpa dalil syar'I adalah batil atau mardud.

 

Kedua,  adapun dalil Jumhur ulama[18] yang mengatakan bahwa wajah bukanlah aurat adalah:

1.      Firman Allah Swt.:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

 

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (An-Nûr: 31)

 

Wajhu al-Dilâlah

Dalam ayat di atas terdapat pengecualian yaitu, "yang (biasa) nampak daripadanya". Ibnu Abbas dan sebagian besar ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "yang (biasa) nampak" adalah sesuatu yang biasa terlihat seperti wajah, kedua telapak tangan[19], celak dan cincin.[20]

 

2.      Firman Allah Swt.:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya." (An-Nûr: 31)

 

Wajhu al-Dilâlah

Dalam ayat ini Allah Swt. memerintahkan untuk menutupkan dan mengulurkan khimar (penutup kepala) ke dada, bukan ke wajah. Jadi wajah bukanlah aurat.[21] Apabila menutupi wajah sesuatu yang wajib, sudah tentu Allah akan memerintahkan untuk mengulurkan khimar ke wajah bukan ke dada.

 

3.      Firman Allah Swt.:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat." (An-Nûr: 30)

 

Wajhu al-Dilâlah

Apabila semua wanita menutup wajahnya --karena hal itu merupakan wajib-, kenapa Allah masih menyuruh orang laki-laki yang beriman untuk menundukkan pandanggannya?[22] Bukankah ayat ini mahkum (hukumnya tetap berlaku) hingga ke akhir zaman?

 

4.      Dari Aisyah r.a, ia berkata, "Asma` binti Abu Bakar menemui Rasulullah dengan memakai pakaian yang tipis." Rasulullah kemudian berpaling darinya dan bersabda, "Wahai Asma`, apabila seorang wanita telah datang haid (baligh), (auratnya) tidak boleh kelihatan darinya kecuali ini dan ini (isyarat rasulullah terhadap wajah dan kedua telapak tangan.)." (HR. Abu Daud)

 

Hadis di atas walaupun dilemahkan oleh ulama hadis, tapi tindakan para sahabiyat menguatkan hadis ini. Kebanyakan mereka tidak memakai cadar dan Rasulullah tidak melarang hal tersebut. Contohnya: Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata, "Seorang wanita mendatangi Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah saya datang untuk menyerahkan diri saya padamu. Beliau lalu melihat padanya; dengan mengangkat pandangannya kemudian menunduk. Tatkala ia melihat bahwa Rasulullah tidak ada keinginan padanya, ia lalu duduk." Jikalaulah wanita tersebut memakai cadar, tentu Rasulullah tidak akan bisa memandang wajahnya.

 

5.      Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memboncengkan Fadhlu bin Abbas di belakangnya (dalam melaksanakan haji) pada hari ke sepuluh Dzulhijah. Seorang perempuan cantik lalu mendatangi beliau dalam rangka meminta fatwa. Perempuan tersebut melihat pada Fadhlu, begitupun sebaliknya. Rasulullah kemudian memalingkan wajah Fadhlu ke arah lain.

 

Wajhu al-Dilâlah

Dalam hadis ini Rasulullah tidak memerintahkan wanita tersebut untuk menutup wajahnya. Selain itu, apabila ia memakai cadar, tentu Ibnu Abbas tidak akan mengatakan bahwa wanita tersebut cantik.[23]

 

Selain itu, hadis ini juga mengisyaratkan bahwa ayat hijab yang terdapat dalam firman Allah Swt.:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." khusus berlaku bagi isteri-isteri rasul. Sebab hadis Fadhlu bin Abbas ini terjadi pada haji wada' sedangkan ayat hijab diturunkan ketika Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsyi pada tahun ke lima hijriah.[24]

 

6.      Selain itu yang menunjukkan bahwa wajah bukanlah aurat adalah perintah Allah Swt. untuk membukanya ketika salat dan melakukan ihram. Apabila keduanya wajib, sudah tentu salatnya tidak sah, karena salah satu sarat sah salat adalah menutup aurat. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa menutup wajah ketika ihram hukumnya haram.[25] Sabda Rasulullah Saw.: "Janganlah wanita yang sedang ihram menutup wajahnya…." (HR. Bukhari)

 

7.      Dalam bermuamalah seperti melakukan jual beli, mewakilkan sesuatu, bersaksi terhadap sesuatu, mengajukan permasalahan ke hakim dan lain sebagainya, kita perlu mengetahui pribadi orang tersebut. Apabila wanita diwajibkan memakai cadar, bagaimana mungkin kita akan menerima persaksiannya di depan hakim begitu juga bagaimana kita akan menerima pengaduannya sedangkan kita tidak tahu orangnya. Bisa jadi ia adalah orang lain. Oleh karena itu, ulama sepakat agar wanita yang bersaksi di depan hakim tidak boleh memakai cadar.[26]

 

III.             Tarjîh

 

Dari pendapat di atas, penulis merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah bukanlah aurat dan memakai cadar tidaklah wajib, tapi ia merupakan sesuatu yang mubah (boleh) dan disyariatkan dalam Islam. Di antara alasannya adalah:

 

1.      Bagaimana kita mengatakan wajah aurat, sedangkan Allah sendiri memerintahkan kita untuk membukanya ketika melakukan salat dan ihram. Apakah hukum wajib memiliki kekhususan tempat dan waktu; pada waktu salat dan ihram tidak wajib? Untuk lebih jelasnya kita lihat pengertian wajib dalam istilah ilmu ushul, "Sesuatu yang dituntut oleh Allah untuk melakukannya secara pasti. Apabila ditinggalkan, maka ia akan mendapatkan dosa dan celaan. Apabila dilakukan, maka ia akan mendapatkan pahala dan pujian.[27] Jadi dalam kondisi dan situasi apapun perbuatan wajib itu harus dilaksanakan. Tidak ada pengecualian tempat dan waktu.

2.      Islam tidak membebankan sesuatu dan tidak pula melarang kecuali jika ada nashnya secara jelas. Sebab asal sesuatu itu "al-Ashlu barâ`atu al-Dzimmah min al-Taklif" (manusia itu bebas dari segala beban). Jadi, wajib atau tidaknya sesuatu itu mesti ditetapkan dengan dalil yang qath'iy (pasti) agar kita tidak mewajibkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah Swt..[28] dalam permasalahan menutup wajah, tidak ada dalil qath'iy yang mengatakan bahwa ia merupakan aurat.

 

3.       Sebelum memakai metode Sad al-Dzari'ah, kita harus beranjak dulu dari Al-Qur'an dan Sunnah. Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya kecuali yang biasa nampak dari mereka, yaitu muka dan telapak tangan. Hal ini merupakan konsensus ulama tafsir. Begitupun hadis Rasulullah (Sunnah Taqrirîah) memaparkan secara terang-terangan bahwa para sahabiyat pada umumnya tidak memakai cadar. Apakah kita akan mengingkari perbuatan sahabiyat tersebut, padahal mereka adalah generasi utama Islam dan mendapatkan pengajaran langsung dari Rasulullah? Kalaulah memakai cadar hukumnya wajib, sudah tentu kita akan menemukan hadis-hadis yang langsung menegur mereka yang tidak memakai cadar. Realitanya kita tidak menemukan satu hadispun yang menyatakan hal tersebut.

 

4.      Adapun yang mengatakan wajib memakai cadar lantaran tersebarnya fitnah dan sebagainya, hal tersebut tidak bisa menjadikannya wajib secara syariat. Kenapa demikian? Sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang memalingkannya dari ibahah tersebut (Al-Ashlu fi Al-Asyyâ`I ibâhah hatta ya`tiya al-Dalîlu 'ala Tashrîfihi 'anil Ibâhah). Jika kita ingin mengatakan cadar itu wajib, mesti dengan dalil syar'iy (Al-Qur'an dan Sunnah) bukan dengan dalil 'Aqliy (akal). Sebab syariat datang dari Allah bukan hasil pikiran manusia.

 

IV.             Sikap dalam Mengambil Sebuah Hukum

 

Pertama, Sikap Diri Sendiri

 

Dalam permasalahan khilafiyah ini, kita dibolehkan mengambil pendapat mana yang hati kita merasa tenang. Tidak ada pemaksaan dalam Islam. Bukankah salah satu manfaat dengan adanya fiqhu al-ikhtilâf itu untuk memberi keringanan bagi umat Islam. Tentu dalam mengambil keringanan tersebut bukan berdasarkan hawa nafsu. Begitupun dalam mengambil suatu hukum, kita tidak boleh seenaknya. Harus memperhatikan landasannya.

 

Selain itu, kita boleh merutinkan sebuah amalan bagi diri kita sendiri sebagai bentuk amalan sholeh tapi tidak boleh berlebih-lebihan. Bukankah Rasulullah Saw. memarahi para sahabat yang mengatakan bahwa saya tidak akan berbuka seharipun. Begitupun yang mengatakan saya akan bertahajud setiap malam.

 

Kedua, Sikap terhadap orang lain

 

Di antara sikap yang perlu kita jaga adalah tidak boleh memaksakan pemahaman pada orang orang lain. Betapa bijaknya ungkapan yang diungkapkan oleh salah seorang mufti mesir, Syaikh Atiyah Saqar dalam kitabnya al-Fatâwa min Ahsani al-Kalâm fi al-Fatâwa wa al-Ahkâm,  "Dalam batasan-batasan aurat wanita, ulama berbeda pendapat. Dan tidak ada larangan untuk mengambil salah satu dari pendapat yang ada."[29] Jadi, seseorang memiliki kebebasan dalam mengambil hukum yang ada.

 

Betapa beraninya seseorang yang mewajibkan hal khilafiyah terhadap orang lain. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, berarti ia sama memposisikan dirinya sebagai tuhan yang menetapkan hukum. Islam tidak membolehkan seseorang mewajibkan suatu hal yang tidak ada nash qath'iy. Apabila di sana ada kemungkinan panafsiran lain, maka seseorang tidak boleh mengatakan bahwa ini hukumnya wajib atau haram.[30]

 

Oleh karena itu banyak kita lihat ulama-ulama salaf yang tidak berani mengatakan bahwa hukum ini haram kecuali jika di sana ada dalil yang qath'i.

 

Selain itu sikap yang perlu dipupuk adalah menghargai pendapat orang lain karena Islam sendiri membolehkan terjadinya khilafiyah dalam ijtihadiyah, bahkan Islam memberikan satu pahala bagi mereka yang salah dalam berijtihad.  

 

Perbedaan hukum memakai cadar bukanlah perbedaan di tingkat ushûliyah (pondasi agama), akan tetapi ia hanya dalam tataran furû'iyyah al-Ijtihâdiyah (permasalahan perbuatan). Dalam masalah furâ'iyyah, Islam menghargai perbedaan pendapat. Bukankah Rasulullah membenarkan dua ijtihad sahabat yang berbeda? Lalu apakah pantas kita memandang miring bahkan menyalahkan orang yang berbeda pendapat dengan kita?

 

Ketiga, Sikap sebagai seorang Da'iyah

 

Keberadaan kita di sini bukanlah untuk selama-lamanya. Akan tetapi kita akan kembali ke masyarakat sebagai seorang da'iyah yang akan menyampaikan agama ini pada mereka.

 

Ketika kita kembali ke masyarakat, kita harus memahami realitas yang ada. Tidak semua teori yang terdapat dalam kitab turats (klasik) dapat dipraktekkan secara mentah  pada mereka. Tapi, mesti ada pendekatan-pendekatan sosiologis dan psikologis agar dakwah itu efektif. Dalam yang wajib saja, Allah ber-tadarruj (bertahap) dalam menurunkan hukum. Tidakkah kita memperhatikan bagaimana Allah mengharamkan minuman keras pada awal datangnya Islam. Allah tidak langsung mengharamkannya lantaran kondisi masyarakat yang sangat tergantung dengan minuman keras. Apalagi dalam permasalahan khilafiyah. Tidak sepantasnya kita meng-itsbât  (menetapkan) hukum dari dalil-dalil yang diperdebatkan oleh ulama, padahal hukum yang kita tetapkan tersebut mengundang kontropersi di kalangan masyarakat. Analisis sederhana, jika kita sepakat mengatakan bahwa memakai cadar adalah wajib, hal tersebut akan mengundang kontroversi di kalangan masyarakat sehingga berdampak pada dakwah yang kita sampaikan pada mereka.

 

Hal ini akan berlanjut dengan penerimaan mereka terhadap kita. Seandainya mereka tidak menerima kita lantaran kita memakai cadar, manakah yang akan kita prioritaskan? Apakah kita akan tetap memakai cadar atau kita akan memilih membukanya dengan mendahulukan maslahat yang lebih besar?

 

Dalam menghadapi masalah ini, kita harus mempertimbangkan bahwa peran kita menegakkan amar makruf nahi mungkar merupakan suatu yang wajib (fardhu kifâyah), sedangkan memakai cadar hanya permasalahan khilafiyah dan jumhur ulama merajihkan bahwa ia tidak wajib. Apakah kita akan mendahulukan hal yang dalam hukumnya masih diperdebatkan daripada hal yang sudah pasti wajib?

 

Islam merupakan ajaran yang tawâzun (seimbang). Seimbang di sini artinya  tidak berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu (Ifrath dan tafrîth). Begitu juga dengan konteks cadar. Kita tidak mesti berlebih-lebihan dalam masalah cadar sehingga kita juga mewajibkan ke lingkungan kita ataupun sebaliknya, menentang cadar tersebut dan mengatakan bahwa ia merupakan bid'ah yang tidak disyariatkan oleh Islam.

 

Sebenarnya yang kita cemaskan dari dua sikap ini adalah dampak negatif yang akan merusak eksistensi dakwah dan keefektifitasan dalam menyampaikan dakwah.

 

V.                Penutup

 

Dalam makalah ini penulis tidak menyalahkan orang yang mewajibkan cadar ataupun sebaliknya membenarkan orang yang mengatakan bahwa cadar itu adalah bid'ah dalam syariat. Tetapi yang penulis harapkan bagaimana kearifan seorang da'iyah muslimah ataupun kebijaksanaannya dalam memahami konteks dan realitas umat Islam di era kontemporer. Kita tahu, permasalahan umat Islam sekarang jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh ulama kita terdahulu. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan tsawâbit (hal absolut yang tidak bisa diganggu gugat) maka boleh-boleh saja multitafsir di dalamnya. Selama perbedaan tersebut tidak bertentangan dengan hal-hal yang tsawâbith tadi, maka boleh saja kita mengambil satu pendapat yang kita anggap kuat tanpa menyalahkan pendapat yang lain.

 

Ketahuilah, Islam itu adalah agama yang yassîrun muyassar (mudah lagi memudahkan) bukan ajaran yang keras lagi menyusahkan. Maka ketika mengambil pendapat maka ambillah pendapat yang memudahkan jangan menyusahkan selama itu tidak bertabrakan dengan pilar-pilar tsawâbit dalam Islam.

 

VI.                         Daftar Pustaka

 

1.                  Al-Shabuniy, Muhammad Ali, Tafsîru Ayâti al-Ahkâm mina'l Qur'âni (Kairo: Dâr al-Shâbûniy, 1999)

2.                    Al-Qurthubi, al-Anshari, Muhammad bin Ahmad, al-Jâmi'u li Ahkâmi'l Qur'ân (Kairo: Maktabah Taaufîqiyyah)

3.                  Sais, Muhammad Ali, Tafsîru Ayâti al-Ahkâm (Kairo: Mu`assasah al-Mukhtar, 2001)

4.                  An-Naisaburiy, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy, Al-Wasîth fi Tafsîri'l Qur'an al-Majîd ( Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1994)

5.                  Al-Qaradhawi, Yusuf, Dr., Fatâwâ Mu'âshirah (Kairo: Dâru'l Qalam, 2003)

6.                  Al-Qaradhawi, Yusuf, Dr., Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi (Kairo: Maktabah Wahbah, 2005)

7.                  Saqar, Atiyyah, Al-Fatâwâ min Ahsani al-Kalâm fi al-Fatâwâ wa al-Ahkâm (Kairo: Maktabah Taufîqiyyah)

8.                  Ali, Kautsar Kamil, Dr., Prof., Muhâdharât fi al-Fiqhi al-Muqârin (Diktat kuliah Syari'ah Islamiyah Puteri III,  Universitas al-Azhar, 2007-2008)

9.                  Saqar, Atiyyah, Mausû'atu al-Usrah tahta Ri'âyati al-Islâm (al-Hijâb baina al-Tasyrî' wa al-Ijtimâ') (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003)

10.               Zaidan, Abdul Karim, Dr., Al-Mufashshal fi Ahkâmi'l Mar`ah wa Baiti'l Muslim (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000)

11.               Al-Syarbini, Muhammad bin Muhammad, Mughni'l Muhtâj (Kairo: Maktabah Taufîqiyyah)

12.              Al-Muqaddim, Muhammad bin Ahmad Ismail, Adillatu'l Hijâb (Kairo: Dâr Ibnu al-Jauziy, 2005)

13.              Zaidan, Abdu'l Karim, Dr., Al-Wajîz fi Ushûli al-Fiqhi (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1996)

 

 

 

 



[1] Muhammad Ali Al-Shabuniy, Tafsîru Ayâti al-Ahkâm mina'l Qur'âni, vol. II, Dâr al-Shâbûniy, Kairo, cet. I, 1999, hal. 111.

[2] Jumhur ulama termasuk sebagian Syafi'iyah mengatakan bahwa wajah bukanlah aurat. Lih. Muhammad bin Muhammad Al-Syarbini,  Mughni'l Muhtâj, vol. I, Maktabah Taufîqiyyah, Kairo, hal. 355.

[3] Hanafiyah membolehkan membuka wajah ketika aman dari fitnah. Tapi, ulama kontemporer dari mazhab Hanafi melarang membuka wajah karena ia adalah aurat. Selain itu alasan mereka mengatakan wajah aurat adalah karena meraja lelanya kejahatan. Lih. Muhammad bin Ahmad Ismail Al-Muqaddim,  Adillatu'l Hijâb, Dâr Ibnu al-Jauziy, Kairo, cet. I, 2005, hal. 458-459.

[4]  Sebagian Hanabilah ada yang berpendapat bahwa wajah bukanlah aurat wanita, tapi pada umumnya mereka berpendapat bahwa ia adalah aurat dan mereka membolehkan membukanya sebagai rukhsahi (keringanan). Lih. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkâmi'l Mar`ah wa Baiti'l Muslim, vol. I,  Muassasah al-Risâlah, Beirut, cet. III, 2000, hal. 190.

[5] Muhammad Ali Al-Shabuniy, op. cit., hal. 111-113.

[6]  Atiyyah Saqar, Mausû'atu al-Usrah tahta Ri'âyati al-Islâm (al-Hijâb baina al-Tasyrî' wa al-Ijtimâ', vol. II,  Maktabah Wahbah, Kairo, cet. I, 2003, hal. 77.

[7] Ibid., hal. 77.

[8] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi,  Maktabah Wahbah, Kairo, cet. III, 2005, hal. 33.

[9] Al-Jalâbîb adalah bentuk plural dari jilbâb. Maknanya adalah pakaian yang  menutupi seluruh tubuh. Lih Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jâmi'u li Ahkâmi'l Qur'ân, vol. XIII-XIV, Maktabah Taaufîqiyyah, Kairo, hal 197 dan lih. juga Muhammad Ali Sais, Tafsîru Ayâti al-Ahkâm, vol. II,  Mu`assasah al-Mukhtar, Kairo, cet. I, 2001, hal. 246.

[10] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal 197, lih. juga. Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy An-Naisaburiy,  Al-Wasîth fi Tafsîri'l Qur'an al-Majîd, vol. III,  Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1994,  hal. 482, dan lih. Juga Muhammad bin Ahmad Ismail Al-Muqaddim, op. cit., hal.  191.

[11]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal. 49.

[12] Atiyyah Saqar, Mausû'atu al-Usrah tahta Ri'âyati al-Islâm (al-Hijâb baina al-Tasyrî' wa al-Ijtimâ'),  op. cit., hal. 75.

[13] Muhammad Ali Al-Shabuniy, op. cit., hal. 113.

[14]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal.  55.

[15]  Muhammad Ali Al-Shabuniy, op. cit., hal. 113.

[16]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal. 60-61.

[17] Ibid., hal. 62-64.

[18] Atiyyah Saqar, Mausû'atu al-Usrah tahta Ri'âyati al-Islâm (al-Hijâb baina al-Tasyrî' wa al-Ijtimâ'),  op. cit., hal. 77.

[19]  Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkâmi'l Mar`ah wa Baiti'l Muslim, op. cit., hal. 190.

[20] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu'âshirah, vol. I,  Dâru'l Qalam, Kairo, cet. X, 2003, hal 430,  lih. Juga Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal 31, dan lih. Juga  Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy An-Naisaburiy, op. cit., hal. 316.

[21]Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu'âshirah, ibid., hal. 430.

[22]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal.  36.

[23] Ibid., hal. 40 dan lih. Juga Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu'âshirah, op. cit., hal. 431.

[24]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, ibid., hal. 41.

[25]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu'âshirah, op. cit., hal. 433.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal.  47.

[27] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fi Ushûli al-Fiqhi, Mu`assasah al-Risâlah, Beirut, cet. V, 1996, hal. 31.

[28]  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Niqâb li'l Mar`ah baina al-Qaul Bibid'iyyatihi … wa al-Qaul bi Wujûbihi, op. cit., hal.  65-67.

[29]  Atiyyah Saqar, Al-Fatâwâ min Ahsani al-Kalâm fi al-Fatâwâ wa al-Ahkâm, vol. I, Maktabah Taufîqiyyah, hal. 639.

[30]  Prof. Dr. Kautsar Kamil Ali, Muhâdharât fi al-Fiqhi al-Muqârin, Diktat kuliah Syari'ah Islamiyah Puteri III, Universitas al-Azhar, 2007-2008, hal. 120.


__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Moderator Central

Yahoo! Groups

Join and receive

produce updates.

All-Bran

10 Day Challenge

Join the club and

feel the benefits.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

.

__,_._,___

No comments: