CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Thursday, May 28, 2009

[kcb-milis] Kasih Sayang (TRUE STORY)

Kasih Sayang

 

***

 

Hatiku hanya bisa beristighfar, tanpa henti. Lidah ku sudah kelu, bingung dan entah apa yang harus ku ucapkan ketika mendengar kecintaanku, harus kembali memulai penderitaannya di ruang ICU.

" De, bunda masuk ICU lagi" suara parau Ayah di ujung telepon sana.

13 Ramadhan 1429H itu jantung dan hatiku seperti lebur, teringat Bunda yang sedang bertarung penuh keperihan, melawan rasa sakit yang menyerang jantungnya sejak setahun terakhir. Bayang-bayang selang-selang alat bantu pernafasan harus masuk ke dalam rongga tubuhnya, membuatku tak kuasa menghujani pipiku dengan air mata hingga mata memerah.

Aku hanya berharap semoga Tuhan masih memberikan kesempatan Bunda untuk melihat putra-putrinya lebih lama, aku yakin Bunda akan sembuh seperti sedia kala, seperti keyakinanku kala itu, Bunda pasti sembuh, Insya Allah, karena bundaku wanita yang kuat.

 

***

 

Tak ada firasat apapun, aku pulang kantor seperti biasa, kembali ke rumahku, sebuah rumah mungil di daerah Tangerang. Rumah yang sudah aku dan kakak-kakakku tempati sejak kami kecil dan sekarang kutempati bersama Bibi dan suaminya serta satu anaknya, sepupuku, yang tinggal bersamaku, sejak beberapa tahun terakhir ini.

Hanya sekitar dua jam sejak kuterima telepon dari Ayah siang tadi, dan

" tuuttt…tutt…tuutt" suara hanphone ku berbunyi, kulihat nomer di layar, ternyata nomer Ayah. Hatiku berdegup gugup, tak karuan, tangan mendingin dan ahh… aku tak tahu seperti apa perasaanku kala itu.

"Asslamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam, kenapa Yah" suaraku bernada khawatir menjawab suara Ayah dari telepon.

"Ndak apa-apa, ini Bundamu mau bicara"

Ahhh…leganya hatiku, akhirnya Bunda sudah siuman…Alhamdulillah.

"Asslamu'alaikum" Suara Bundaku di ujung sana, dalam suaranya tak sedikitpun menyiratkan ada sakit dalam dirinya, dan memang begitulah Bundaku, yang tak ingin menyusahkan orang lain, tak pernah sedikitpun Bundaku mengeluh atau membuat anak-anaknya sedih dengan kondisinya yang selalu kami, anak-anaknya, khawatirkan .

"Wa'alaikumsalam, Bunda bagaimana keadaannya?"

"De, sakit bunda jangan jadi pikiran ya, kamu kerja aja, nanti juga bunda keluar dari ruang ICU, dan hari Jum'at Insya Allah pulang "

"Tuhan, ini suara Bundaku Tuhan, sembuhkan, sehatkan, berikan aku kesempatan berbakti untuk Bundaku" lirihku dalam hati dengan air mata yang terus mengalir dengan derasnya, kutahan sekuatku agar Bunda tak tahu begitu banyaknya air mata yang tertumpah ketika mendengar suara Bunda yang begitu merdu.

Tak berapa lama suara Ayah mengambil alih telepon yang tadi dipakai Bunda untuk berbicara padaku

"Doain bunda kamu aja biar cepet sembuh ya De"

 

***


Hampir tiap detik bayangan Bunda selalu membayang dalam imajinasiku, rindu rasanya. Sejak Bunda kembali dalam perawatan di ruang ICU, tak seharipun terlewat untuk mendengar suaranya.

Semua masih sama, Bundaku masih tetap perhatian. Bunda senantiasa bertanya keadaanku, "Buka puasa pakai apa hari ini, De?" atau ketika jam-jam sahur Bunda selalu menanyakan "Sudah sahur, De?"

Penghiburanku adalah suara Bundaku. "cepat sembuh, Bun" lirihku mengucapkan kata-kata itu disela-sela doaku seolah Bunda berada di hadapanku, di pelukanku.

"Ya Rabb, redakan sakit, sehatkan dan sembuhkan Bundaku, yang tak pernah mengeluh dengan ujian-MU"

 

***

 

Ku lirik jam dinding jarum-jarum jam sudah menunjukkan 23.45 sebentar lagi pukul 00.00, pergantian hari dalam hitungan kalender masehi. Aktifitas hari ini membuatku begitu lelah, membuatku begitu terlelap di atas pembaringanku, betapa tidak hari ini ku jalani begitu berat, hingga semua nya membuyar ketika suara handphone ku berdering.

"tuuttt… tuuttt… tuuttt…" dini hari, 19 Ramadhan 1429 H tepat jam 02.45, sambil mata setengah terjaga, aku mengangkat handphone yang kutaruh di atas meja sebelah tempat tidur.

"De tolong berdoa, Bunda mu anfal, kali ini ngga sadarkan diri dan katanya dokter tidak seperti biasanya " dari suaranya aku mengenali, itu suara Ayah.

Seketika itu juga, tubuh ku lemas, semua tulang-tulang seperti keluar dari tubuhnya, aku masih tidak percaya apa yang sudah diberitakan Ayahku tadi. Lagi-lagi, kelopak mata tak sanggup membendung air mata yang semakin tak kuasa aku menahannya.

Bibi ku terbangun mendengar tangisanku yang pecah, ratapan suaraku menyayat-nyayat, siapa saja yang mendengarkannya, pedih sekali rasanya mendengar berita dari Ayah.

"Bunda Bi.. Bunda …" aku makin histeris, tak sanggup lagi aku melanjutkan cerita kepada Bibi

Melihat kondisiku yang sudah tak karuan, Bibi menelepon adik-adik Bundaku, paman dan Bibi ku yang lain, memberi kabar mengenai kondisi Bundaku. Dari ucapan Bibi yang kudengar ketika menelepon, sepertinya Bibiku berencana terbang ke Kediri bersama yang lainnya.

 

***

 

Mataku enggan terpejam, padahal hari ini aku tidur sudah sangat larut. Adrenalin membuatku kuat menahan mata yang layu, aku masih terdiam, fikiranku melayang jauh hingga ke Kediri sana.

"Bunda…Bunda…Ya Rabb…kuatkan Bundaku Ya Rabb…"

Jarum jam membentuk  sudut, di arah 05.30 waktu Tangerang, ketika telepon dari Ayah membuatku kembali bersemangat, bangkit dari kesedihanku, mengabarkan bahwa Bundaku sudah sadar dari anfalnya, dan ingin berbicara denganku, putri ketiga dari empat bersaudara, dua kakak perempuan, satu adik laki-laki.

"De, Bundamu mau bicara" ucap Ayah dengan nada penuh semangat, berbeda dari telepon-telepon Ayah sebelumnya dengan suara parau. Hatiku senang dari senyum mulai mengembang dari bibirku. Suara Bundaku membuatku, terharu, air mataku hampir kering terkura sejak dini hari tadi.

"Nanti sehabis Sholat Jum'at Bunda pulang De, kalau kamu mau pulang ke Kediri jangan terburu-buru, Bunda pasti tungguin kamu kok"

 

***

 

Waktu menunjukkan jam 08.30, aroma Tangerang hari ini terasa berbeda, perasaan ku tak menentu, gelisah, entah sudah berapa kali aku mengusap air mata, yang sisa-sisanya masih ada di ujung mata, sementara tiga mobil pribadi paman sudah siap membawaku serta bibi dan paman ku yang lain ke Kediri.

Hari ini, aku izin tidak masuk kantor, Bibi ku yang memintakan izin agar aku dapat diberikan izin, dalam hati aku khawatir, apakah kantor akan mengizinkanku tidak masuk hari ini? Dan alhamdulillah, pihak kantor mengerti dan memahami kondisiku dan akhirnya memberikan izin.

Dalam perjalanan, aku mendapat telepon dari Ayah, menceritakan kondisi Bunda yang menurut dokter mulai stabil, meskipun ternyata setengah jam setelah itu Ayah menelpon ku tadi jam 05:30, Bunda kembali tidak sadarkan diri karena terkena serangan jantung kembali.

Aku meyakinkan lagi ke Ayah tentang kondisi Bunda, dan Ayah meyakinkanku kalau kondisi Bundaku yang mulai membaik, sehingga Ayah, kakak ipar dan adik bungsu ku, tak merasa khawatir meninggalkan Bunda yang masih terbaring di ruang ICU untuk sholat Jum'at di Mesjid Rumah sakit.

 

***

 

Perjalanan ke Kediri terasa begitu jauh, ahh andai aku punya sayap, aku akan terbang menuju ke sana, atau Tuhan… tak maukah kau sediakan Buraq untukku, untuk segera melihat Bundaku, melepas rindu, menghapus gundah yang masih menyelimuti sejakt dini hari hingga dalam perjalananku.


Perasaan kian tak menentu, matahari mulai menepi ke barat, jarum jam masih menunjukkan pukul 14:25, kami masih dalam perjalanan, tiba-tiba suara handphone paman berbunyi, aku yakin ini dari Ayahku di Kediri, tapi dari cara paman berbicara sepertinya Paman ttidak sedang berbicara dengan Ayah. Jantungku semakin tak karuan, kabar apa yang sudah paman dengar hingga membuat raut muka paman yang sedang menelpon berubah, ada sedih di guratan wajahnya. Dari dialog cara paman berbicara, aku mengerti, Bunda sudah menuju ke rumah Kekasihnya, Allah swt.

" Innalillahi Waiinnailaihi Rojiun "  hanya itu yang bisa ku ucapkan sambil tak henti-hentinya berdoa, memohon ampunan untuk Bundaku, dan lagi air mata tak sanggup lagi membendung, menumpah, membasahi pipi.

"tunggu aku Bunda…." Teriakku dalam hati, memohon kepada Allah agar Ayah tida terlalu cepat memakamkan Bundaku, setidaknya memberikan kesempatan untuk melihat Bundaku, berbakti untuk terakhir kalinya sebelum lahat melahap tubuhnya yang renta.

Kami terus melaju di bawah langit Cirebon yang cerah dengan hatiku yang mendung. Pandanganku hampa, lidahku seprti mati rasa, yang ada hanya bayangan Bunda, yang terngiang hanya suaranya yang masih sangat ku hafal ketika Bundaku pertama kali masuk ICU "bunda akan pulang hari Jum'at", dan benar, sunggu benar, Bunda berpulang pada hari jumat, bukan ke rumah kami yang sederhana, Bundaku pulang ke istana Surga, meninggalkan kami selamanya.

 

***

20 Ramadhan 1429 H, Jam 04.30, kami semua sampai, mobil diparkir beberapa meter dari tempat Bunda disemayamkan. Bendera kuning dan langkah-langkah tetangga yang melayat membuatku tak sabar. Setengah berlari aku mendekati rumah kami yang di Kediri, tempat Bunda disemayamkan, hatiku makin gaduh, keadaanku tampak lusuh tak karuan, entah sudah berapa banyak danau yang kubuat dengan air mata.

Kuhampiri Bunda yang terbaring tidur pulas yang panjang, di atas sebuah kasur beralas kain batik, kain gendongan yang sudah turun temurun digunakan untuk menggendong anak-anaknya, termasuk aku, hingga cucunya pun masih sempat merasakan belaian hangat kain gendongan yang sekarang menjadi alas tidur Bundaku.

Aku masih setia disebelah Bundaku, sama seperti setianya Bunda menjagaku dan kakak-kakaku bermain, memanjat pohon belimbing yang ada di depan rumah, sementara keluarga dan para tetangga masih sibuk dengan doa-doan yang dipanjatkan. Ku buka kain putih yang menutupi wajahnya sambil menahan isak tangis yang semakin lama semakin tak kuat ku tahan, ku tatap wajahnya, aduhai Bunda, senyumanmu membuat hatiku tersayat, kupeluk tubuh dinginnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Rasanya baru kemarin, Bunda merawatku dengan tangannya, kini tangannya tak bergerak sedikitpun, bersedekap di atas dadanya, sesalku meninggi, ya Rabbi…aku belum sempat berbakti.

 

***

 

Semua telah dipersiapkan, mulai dari makam tempat peristirahatan sudah di gali, kain kafan sudah direntangkan, dan pemandian pun sudah terhijab rapat dengan kain-kain setinggi lebih dari satu setengah meter, dan ia masih setia menunggu Bundaku di pelukannya, bermandikan dingin air surga. 

Jam tujuh pagi masih lima belas menit lagi, kami berempat, aku, dua kakaku dan adik bungsuku, berkesempatan memandikan Bunda untuk terakhir kalinya, seperti wasiat yang Bundaku sampaikan kepada Ayah dan kedua kakakku di ujung usianya. Ah betapa lukanya hatiku melakukan ini semua, Bundaku kau hanya tediam membisu, dan bayanganku kembali ke masa lalu, di saat Bunda memandikanku waktu kecil, dibedakinya aku dengan penub kelembutan, disisirnya rambutku penuh kesabaran.

Kafan yang sedari tadi membujur, kini menjadi baju paling berharga yang dipakai Bunda menghadap Pujaannya, Arrahman. Dan saat terakhir, sebelum kafan diikatkan ujung-ujungnya, kami mencium Bunda dengan sepenuh cinta, untuk terakhir, sambil terbisik doa, Ya Rabb..ampuni Bundaku.

 

***

 

Kisah Sejati dari:

Diyah Kusumaningsih

YM, FS & FB please add at dinul_ade@yahoo. co.id

Email  : diyahkusuma_ office@yahoo. Com

 

Digubah oleh:

Maulana Hadisona



 

Terima Kasih
Hadi Maulana

 Email/YM/FB/FSmhadisona@yahoo.co.id

...Jika cinta ini tak kunjung bertasbih, Semoga masih ada kasih setabah kasih Aisha dan cinta sedalam cinta Maria Girgis.



Jatuh cinta itu seperti apa ya rasanya?
Temukan jawabannya di Yahoo! Answers!

No comments: