Senin kemarin (15/09) mereka harus berdesak-desakan. Merangsek ke
depan hingga saling dorong pun harus mereka lakukan. Jumlah mereka
mencapai angka 5 ribu orang. Mereka datang dari daerah sekitar
Kecamatan Purworejo, Pasuruan. Demi keberuntungan, sejumlah besar di
antara mereka harus meninggalkan rumah menuju lokasi sejak setelah
subuh. Sebagian lagi rela antre di lokasi sejak pukul 4 dini hari.
Di rumah pengusaha H Syaikon di kawasan RT III, RW IV, Kelurahan
Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Pasuruan, mereka berkerumun berebut
zakat. Kalau semula diperuntukkan sebagai berkah agama menyangkut
distribusi kesejahteraan kepada sesama, zakat dalam pendistribusiannya
akhirnya menjadi petaka.
Akibat berebut keberuntungan dalam pembagian zakat, pilu dan duka pun
tak terhindarkan. Jatuh pingsan "hanyalah" petaka "kecil" yang terjadi
di lokasi. Sebab, tidak kurang dari 21 orang justru dilaporkan
meninggal dalam kejadian itu. Sebagian karena kehabisan oksigen.
Sebagian lagi karena terinjak sesamanya saat berdesakan berebut zakat.
Berapakah nilai nominal yang mereka perebutkan hingga berujung pada
kematian dalam jumlah yang tidak sedikit di antara mereka? Anda jangan
membayangkan nilai nominalnya mencapai jutaan. Atau ratusan ribu
sekalipun. Mereka hanya memperebutkan besaran uang zakat yang mencapai
"sekecil" Rp 40 ribu untuk masing-masing calon penerima.
Saya harus menyebut angka Rp 40 ribu itu "kecil" karena tak sebanding
sama sekali dengan praktik culas politik elite negeri ini. Bandingkan
kasus berebut zakat di Pasuruan di atas dengan angka skandal anggota
perlemen (yang mulia?) dalam bentuk traveler's cheque yang baru terungkap.
Satu jatah uang zakat yang diterima oleh anggota masyarakat di
Pasuruan tersebut 12.500 kali lipat lebih kecil daripada yang diterima
oleh salah seorang anggota parlemen yang diduga terlibat dalam skandal
dimaksud.
Seperti diberitakan, angka Rp 500 juta adalah besaran uang haram
terkecil yang diterima oleh seorang anggota parlemen dari Fraksi PDIP
bernama Agus Condro. Uang sebesar itu dia terima dalam bentuk 10
lembar traveler's cheque, masing-masing sebesar Rp 50 juta. Jika
dibandingkan dengan uang zakat yang diterima oleh satu orang dalam
kasus Pasuruan di atas, nilainya 12.500 kali lipat lebih banyak.
Padahal, anggota perlemen yang diduga terlibat korupsi dengan menerima
traveler's cheque di atas bukan satu atau dua orang. Seperti menjadi
temuan terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), terdapat sekitar 400 lembar cek perjalanan yang mengalir
kepada 41 anggota Komisi Perbankan DPR periode 1999-2004. Besarannya
pun sangat variatif. Yang diterima oleh Agus Condro terbilang paling
kecil jika dibandingkan dengan yang diterima oleh anggota parlemen
lainnya (Jawa Pos, 11/09/2008).
Dengan besaran angka yang diduga mengalir ke mayoritas anggota Komisi
IX (bidang perbankan) DPR periode 1999-2004 di atas, seorang teman
dosen UI ahli matematika, Alhadi Bustamam, pernah membuat penghitungan
menarik. Seluruh uang rakyat yang diduga dikorupsi oleh anggota
parlemen tersebut sama dengan besaran nominal dana yang dibutuhkan
untuk membiayai 300 mahasiswa pascasarjana dari Indonesia untuk studi
lanjut di perguruan tinggi ternama di Australia.
Durasinya pun tak tanggung-tanggung. Besaran dana yang diduga
dikorupsi oleh anggota parlemen di atas bisa meng-cover kebutuhan 300
mahasiswa Indonesia per tahun selama sekitar 23 tahun lamanya.
Coverage beasiswa itu pun cukup besar. Tidak hanya meliputi biaya
kuliah, tetapi juga biaya hidup selama studi di Negeri Kanguru itu.
Kalau dihitung-hitung secara lebih detail, kita bisa segera paham
bahwa dana haram atas skandal traveler's cheque di atas telah
memusnahkan kesempatan 6.900 anak pintar bangsa untuk menimba ilmu di
luar negeri.
Apalagi jika kita bandingkan dengan kesempatan sekolah bagi anak
negeri di Indonesia. Tentu, dana yang diduga dikorupsi oleh anggota
parlemen di atas tentu sangat besar sekali.
Menusuk Nurani
Skandal besar anggota parlemen yang disebut-sebut terkait dengan
pemilihan Miranda Gultom sebagai deputi gubernur senior BI itu sungguh
menusuk nurani bangsa ini. Bagaimana tidak teriris rasa keadilan
bangsa ini jika di ujung sana terdapat kumpulan rakyat dalam jumlah
cukup besar yang harus kehilangan nyawa demi uang Rp 40 ribu.
Sebaliknya, wakil mereka di parlemen justru berfoya-foya dengan uang
rakyatnya sendiri. Jumlahnya pun tidak terbilang.
Kontras
Adilkah negeri ini jika pemandangan kontras terjadi pada kehidupan
rakyat kebanyakan di negeri ini dan kehidupan para elite politiknya?
Rakyat dibuat limbung hidupnya oleh impitan ekonomi. Sementara itu,
elite politiknya berlimpah kekayaan di atas penderitaan hidup
rakyatnya. Apalagi keberlimpahan kekayaan itu dilakukan dengan cara
culas nan haram.
Beginilah sebuah negeri jika politik digunakan sebagai ajang untuk
mencari kekayaan. Politik, yang perdefinisinya, sejatinya digunakan
sebagai alat untuk menciptakan kebaikan bersama tidak pernah mewujud
di negeri ini.
Paradoks perpolitikan di negeri ini terjadi karena mereka yang
memutuskan maju dalam jagat perpolitikan tidak memiliki basis ekonomi
yang mapan. Akibatnya, politik tidak lebih menjadi kendaraan untuk
memperkuat basis ekonomi itu.
Pada awal reformasi, kita bisa menyebut bahwa reformasi Indonesia
telah disandera oleh para koboi senayan. Kini perkembangan terakhir
pun harus membuat dahi kita bersama mengernyit sebagai tanda duka
bangsa ini. Kasus dana BLBI di awal krisis eknonomi memang belum
kelar. Tetapi, negeri ini harus dipermalukan kembali oleh skandal
traveler's cheque.
Dalam situasi seperti ini, pantas saja jika partisipasi publik dalam
demokrasi bukannya malah meningkat, tapi menurun. Demokrasi telah
dibunuh oleh elite politiknya sendiri. Sungguh negeri ini tidak ingin
menyaksikan masa depan anak turunnya sendiri dibunuh secara kejam oleh
kepandiran dan kebanditan politik elitnya.
Kasus Pasuruan memang bisa menjadi salah satu saksi atas keterpurukan
dan kemiskinan negeri ini. Tetapi, skandal traveler's cheque anggota
parlemen telah menjadi sebuah bukti konkret atas miskinnya nurani
elite politik bangsa ini.
saya memasang artikel ini agar bisa dijadikan pengetahuan ANTI KORUPSI
No comments:
Post a Comment