CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Tuesday, April 14, 2009

[ketika_cinta_bertasbih] (Tips Menulis): MENULIS SEPERTI AIR



MENULIS SEPERTI AIR

Oleh: Udo Yamin Majdi

 

Dalam tulisan sebelumnya —Klik: Malas, Kok Dipelihara? saya menjelaskan tentang paradigma bahwa menulis itu sangat gampang, atau sebaliknya, sangat sulit, akan membuat kita malas, bosan, buntu, bahkan tidak mau menulis sama sekali. Ini kita kenal dengan writer block. Lalu, bagaimana solusinya?

Solusinya adalah miliki paradigma khusyu' dalam menulis! Apa itu paradigma khusyu'? Secara sederhana, paradigma khusyu' adalah cara kita memandang aktivitas menulis secara objektif, bahwa dalam menulis itu pasti ada kesulitan dan kemudahan, serta tingkat kesulitan dan kemudahan itu berbanding lurus dengan seberapa besar kita mencintainya, mendisiplinkan diri untuk melakukannya, dan memfokuskan diri pada proses, bukan pada buah dari tulisan kita.

Untuk membedah paradigma khusyu' tersebut, saya akan meminjam pisau analisis Daniel Goleman. Dalam bukunya, Emotional Goleman, dia menyebutkan bahwa flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Apa itu flow?

Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus kepada pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan. Ciri khas flow, diantaranya adalah perasaan kebahagiaan spontan, bahkan keterpesonaan.

"Berada dalam suatu keadaan ekstase sampai di suatu titik", cerita seorang komposer saat menceritakan pengalamannya dalam buku itu, "di mana Anda merasa seolah-olah hampir tidak nyata. Saya pernah mengalami hal ini berulang kali. Seakan-akan tangan saya bukan lagi milik saya, dan saya merasa tidak melihat apa-apa. Saya hanya duduk mematung seraya menonton dalam keadaan takjub dan kagum. Gubahan itu seorang-olah mengalir dengan sendirinya."

Cerita komposer itu ternyata sama dengan yang diungkapkan ratusan orang yang berlatar belakang berbeda —pendaki gunung, juara catur, ahli bedah, pemain bola, basket, insinyur, manajer, bahkan para penulis— berdasarkan penelitian Mihally Csikszentmihalyi selama dua puluh tahun. Ahli psikologi Universitas Chicago itu, menyebut "zona" atau keadaan ketika keunggulan dapat dicapai dengan tanpa kerja keras tersebut, dengan istilah flow.

Kita pun pernah mendengar kisah serupa yang terjadi pada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ketika beliau terkena panah. Beliau meminta sahabatnya untuk mencabut panah tersebut saat beliau sedang sholat. Beliau tidak merasakan apa-apa tatkala anak panah dengan paksa dicabut merobek tubuhnya. Itu terjadi karena beliau sangat khusyu' melakukan sholat.

Atau, Anda pun pernah mengalaminya, sewaktu Anda terhanyut di depan komputer. Anda berubah seperti orang autis: Anda asik dengan dunia Anda sendiri, Anda tidak menatap lawan bicara saat diajak bicara, Anda tertawa atau menangis sendirian, bahkan Anda terkadang baru menjawab setelah selesai "berselancar" di internet dan Anda berkata dengan teman di samping Anda: "Eh, kamu tadi nanya apaan sih?" Nah, kurang lebih seperti itulah flow atau khusyu' itu, yaitu ketika kita kehilangan kesadaran akan ruang dan waktu.

Dalam aktivitas menulis, flow atau khusyu' itu, sering terjadi pada para penulis senior atau profesional yang memiliki jam terbang tinggi dan sangat jarang dialami oleh penulis pemula. Mengapa? Sebab, sebagaimana saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya —Malas Kok Dipelihara?— bahwa para pemula itu sering meremehkan; hanya sekedar bisa berkata: "Ah, kalau menulis seperti ini, saya pun bisa!", atau sebaliknya, mereka menganggap menulis itu sangat sulit, sehingga mereka kurang percaya diri, bahkan putus asa, sehingga sering melakukan rasionalisasi, pembenaran terhadap sebuah kesalahan atau kelemahan, mereka berkata: "Ah, saya enggak ada bakat!, Saya sibuk, tidak ada waktu!, Saya sudah terlalu tua untuk mulai belajar menulis!, dan seterusnya.

Berbeda dengan para penulis profesional. Mereka sangat sadar bahwa menulis itu sangat sulit manakala hanya sekedar "dipikirkan" saja, tanpa pernah mencobanya. Mereka sangat yakin menulis itu sangat mudah, ketika mereka telah menguasainya. Mereka berusaha objektif dalam memandang aktivitas menulis; tanpa imbuhan; tanpa menutupi-nutupi kesulitan dan kemudahan. Mereka berusaha melakukan hal yang mudah dan bertekad untuk menyelesaikan hal yang sulit.

Mereka lakukan itu seperti air: terus mengalir. Ketika air tersumbat tidak tersalurkan, bukan berarti air itu berhenti untuk mengalir, melainkan sedang mengumpulkan kekuatan. Dari hari ke hari, air itu semakin banyak dan berusaha mencari celah untuk mengalir. Air dalam bendungan itu menunggu momentum. Sekecil apapun mementum itu. Ketika air itu menemukan celah kecil, ia akan merembes. Ketika menjumpai lubang, ia akan memancar. Apalagi bila menemukan pintu keluar, maka akan mengalir tanpa henti. Mengalir tanpa henti inilah yang kita sebut flow atau khusyu'.

Lantas, bagaimana cara kita akan flow atau khusyu' dalam menulis? Sebenarnya, banyak cara untuk mencapai flow menulis —sebanyak jumlah keunikan setiap individu—, namun saya hanya ingin menjelaskan tiga cara ini:

1. Mencintai tanpa syarat.

Ketika kita membutuhkan aktivitas menulis seperti kebutuhan kita terhadap udara, air, dan makanan, maka inilah salah satu tanda bahwa kita telah mencintai dunia kepenulisan. Atau kita merasakan bahagia saat menulis melebihi, atau minimal sama, kebahagiaan seseorang bertemu dengan kekasihnya, maka ketahuilah bahwa kita sebenarnya sudah jatuh cinta pada dunia menulis.

Sebaliknya, meskipun Anda berkata: "Saya sangat mencintai dunia kepenulisan!", namun tatkala diminta menuliskan sesuatu Anda merasa seperti ada tujuh lapis langit menghimpit jiwa Anda, berarti cinta Anda itu adalah dusta. Apalagi, bila Anda tidak pernah mau melakukannya, maka siap-siaplah Anda akan bercerai dari dunia kepenulisan.

Cinta ada dalam hati. Hati tempat emosi kita. Emosi dalam bahasa latin artinya yang "menggerakkan". Oleh sebab itu, orang mencintai aktivitas menulis, akan bergerak sendiri untuk menulis, tanpa harus dimotivasi orang lain atau oleh sesuatu. Mereka tetap bergerak meskipun berada dalam dunia sunyi.

Dalam kitab Qa'idah fi al-Mahabbah, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa semua gerakan di alam semesta ini, bermula dari al-mahabbah (cinta) dan al-iradah (keinginan). Begitu juga hal dalam menulis, menurut saya, yang menggerakkan para penulis adalah cinta. Cuma satu sama lainnya, berbeda dalam jenis dan kadar cinta. Ada yang menulis karena cinta Allah dan rasul-Nya. Ada juga yang menulis karena cinta harta, pupuleritas, dan hal-hal yang duniawi saja.

Kemampuan kita menemukan cinta dalam menulis, memilih jenis cinta, dan keahlian dalam meningkatkan kadar cinta itu, akan menentukan flow atau tidaknya kita dalam menulis. Kita akan semakin flow, manakala kita mencintai menulis tanpa syarat. Dari studi kasus Csikzentmihallyi terhadap 200 seniman setelah 18 tahun mereka lulus dari sekolah seni, ternyata yang benar-benar menjadi penulis adalah para mahasiswa menikmati kebahagiaan melukis itu sendiri. Sedangkan mereka yang mengejar mimpi ketenaran dan kekayaan, mereka melenceng jauh dari dari seni setelah mereka tamat.

Dan itu pun, saya temukan —dari pengalaman memberikan pelatihan menulis selama tujuh tahun lebih— rata-rata para peserta yang begitu semangat menjadi "penulis", mereka tidak menjadi penulis. Sebaliknya, peserta yang yang melakukan aktivitas menulis karena mereka hanya ingin menyalurkan hobi menulis, akhirnya mereka benar-benar menjadi penulis handal.

2. Mendisiplinkan diri.

Betapa banyaknya orang yang gagal menjadi penulis, meskipun pada awalnya —terutama setelah mengikuti acara pelatihan, workshop, sekolah menulis— mereka sangat semangat menulis, sebab mereka tidak mau mendisiplinkan diri. Disiplin, menurut John C. Maxwell dalam buku The 17 Essential Qualities of Team Player, adalah mengerjakan apa yang tidak mau Anda lakukan agar dapat mengerjakan yang Anda kerjakan. Atau, membayar harga dalam hal-hal yang kecil agar Anda dapat membeli hal yang besar.

Dari penjelasan Steven R. Covey tentang prinsip ke-7: Asahlah Gergaji Anda, saya terinspirasi mengenai cara kita mendisiplinkan diri. Dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People itu, dia mengatakan bahwa manakala kita mendisiplinkan diri dengan cara: belajar, komitmen, dan berbuat, secara terus menerus, maka kita akan tumbuh dan berkembang seperti spiral: dari kecil semakin membesar.

Dalam menulis pun demikian, jika kita mendisplinkan diri untuk belajar menulis di mana  dan kapan saja, komitmen untuk menulis setiap hari sesuai dengan target, dan berlatih secara terus menerus tanpa henti, maka latihan akan menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi kebutuhan, dari kebutuhan itu akan lahirlah flow sehingga emosi kita begitu lentur untuk menuangkan ide atau gagasan seperti seperti para atlit yang memiliki otot lentur untuk bertanding di lapangan.

3. Memfokuskan diri pada proses, bukan pada hasil.

Sesederhana apapun tulisan, manakala kita tidak fokus, maka tidak bisa kita selesaikan. Sekali dua kali berhenti di tengah jalan, mungkin kita masih bisa mema'afkan diri kita sendiri. Namun bila keseringan, itu akan membawa kita pada frustasi, dan akhirnya kita akan malas melakukannya kembali.

Fokus adalah kunci dari flow atau khusyu'. Fokus nama lain dari konsentrasi tinggi. Dan fokus atau konsentrasi tinggi ini, tidak hanya kita butuhkan untuk menulis saja, melainkan dalam semua pekerjaan kita. Misalnya, dalam bela diri, kita mengenal "tenaga dalam". Rahasia tenaga dalam itu ada pada konsentrasi, yaitu upaya mengumpulkan tenaga dalam satu titik. Pengumpulan energi ini dapat kita buktikan melalui lensa yang mengumpulkan cahaya matahari dalam satu titik sehingga bisa membakar kertas atau benda kering lainnya. Dalam menulis pun kita butuh tenaga dalam atau titik fokus cahaya itu.

Untuk mencapai konsentrasi tinggi itu, tidak dapat kita raih, hanya sehari dua hari. Melainkan seperti kekhusyukan seorang ahli shalat yang merupakan akumulatif dari hasil belajar sholat, pelaksanaan sholat, dan pengalaman spitual selama belasan, bahkan puluhan tahun. Konsentrasi menulis pun demikian. Kita tidak mungkin konsentrasi hanya sekedar mendengar penjelasan tentang konsentrasi dalam pelatihan menulis, melainkan sebuah proses panjang jatuh bangun kita, sehingga akhirnya kita menemukan cara kita sendiri untuk konsentrasi dalam menulis.

Sebagaimana cara kita mencapai sholat khusyu', dalam menulis pun kita memiliki "kiblat menulis", "rukun dan syarat menulis", "adab menulis", baik itu yang berhubungan dengan psikologis, fisik, fisiologis, maupun berhubungan dengan pakaian, ruang, dan waktu. Sebagai contoh, Fauzil Adhim ketika menulis buku-bukunya tentang pernikahan, beliau berusaha mandi terlebih dahulu, sholat dua raka'at seperti yang dilakukan Imam Bukhari ketika menulis Shahih Bukhari, lalu beliau menebarkan pewangi di kamar tempatnya menulis dan memasang bunga-bunga. Itu semua membantu beliau konsentrasi menulis buku dengan bahasanya jernih, indah, dan romantis. Atau, ketika Habiburrahman El-Shirazy menulis novel Ayat-Ayat Cinta, beliau memasang peta Cairo di tempatnya menulis agar beliau terfokus menggambarkan seting Mesir dalam novelnya.

Atau seperti Kang Arul yang punya ritual menulis: minum secangkir kopi dulu, baru bisa menulis. Beda lagi dengan saya —Emha Ainun Nadjib untuk memfokuskan diri sesuai dengan tulisan, beliau sering menulis di atas kertas berbeda warna— saya kurang lancar menulis di program Microsoft Word, melainkan di "Notepad". Saya sendiri heran, mengapa saya begitu mengalir menulis di Notepad, sedangkan memakai program lain seakan-akan buntu.

Meskipun kerja saya dua kali, menulis di Notepad, baru saya edit di Microsof Word, terlihat tidak efisien dan efektif, namun karena ini membuat saya konsentrasi, maka sampai saat ini —termasuk dalam membuat tulisan ini, saya masih menggunakan Notepad. Artinya, setiap orang akan berbeda-beda dalam membangun konsentrasi menulis. Nah, tugas setiap individulah, menemukan caranya masing-masing.

Selain tidak tahu cara membangun konsentrasi menulis tersebut, ada satu sebab lagi yang membuat orang tidak konsentrasi menulis sehingga mereka malas, bosan, dan buntu dalam menulis, yaitu mereka tidak fokus pada proses menulis, melainkan pada hasil tulisannya. Mereka terlalu memikirkan apakah tulisannya menarik atau tidak, atau apakah tulisannya bisa diterbitkan atau tidak, dibandingkan bagaimana membuat sebuah tulisan berkualitas bagus..

Lebih parah lagi adalah bila mereka berpikir perfeksionis, ingin sangat sempurna dan bagus sekali. Kesadaran untuk tidak ada cacat itu, bukan membuat mereka melahirkan karya yang sempurna, malahan sebaliknya, karya mereka penuh dengan kekurangan, sebab mereka membuatnya tidak flow: dengan perasaan tertekan. Itu masih bagus, mereka berkarya, ada lagi yang tidak "melakukan" aktivitas menulis, melainkan hanya berkutat dalam "pikiran" mereka saja.

Al-hamdulillah, ternyata obrolan kita sudah terlalu lama. Sebelum saya mengakhiri diskusi kita ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa paradigma kita terhadap aktivitas menulis sangat mempengaruhi semangat atau tidaknya kita dalam menulis. Bila kita terlalu meremehkan atau terlalu menganggap sulit, maka kita akan malas, bosan, atau buntu menulis. Oleh sebab, menulislah dengan paradigma khusyu, alias flow: mengalir. Yah, solusi writer block adalah menulis seperti air! Wallahu a'lam bish shawab.

Mesir, 14 April 2009


=======================================

WORD SMART CENTER adalah sebuah komunitas --online, offline, dan onair-- tempat belajar mengasah kecerdasan dalam berbahasa  baik berbicara, mendengar, membaca, dan menulis dan bercita-cita membangun Indonesia Cerdas; Indonesia Mandiri; dan Indonesia Kreatif.

Bagi siapa saja berminat belajar mengasah kecerdasan berbahasa dan menjadi bagian dari pecinta buku, silahkan bergabung di milis wordsmartcenter@yahoogroups.com, atau kirim e-mail ke wordsmartcenter@yahoo.com, nanti kami invite.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments: