CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, April 13, 2009

[kcb-milis] Semoga bermanfaat..(Mencoba untuk Serius..)



 


 

 

Baca deh, panjang siy tp ada yg bisa petik dr cerita ini....

 

>Sebuah kisah salah pengertian yg mengakibatkan

>kehancuran sebuah rumah tangga.

>Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah

>terbuka, tetapi segalanya sudah terlambat.

>Membawa nenek utk tinggal bersama menghabiskan

>masa tuanya bersama kami, malah telah

>mengkhianati ikrar cinta yg telah kami buat

>selama ini,setelah 2 tahun menikah, saya dan

>suami setuju menjemput nenek di kampung utk tinggal bersama.

>  

>Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya,

>dia adalah satu-satunya harapan nenek, nenek

>pula yg membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.

>Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera

>menyiapkan sebuah kamar yg menghadap taman untuk

>nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga

>dan sebagainya. Suami berdiri didepan kamar yg

>sangat kaya dgn sinar matahari, tidak sepatah

>katapun yg terucap tiba-tiba saja dia mengangkat

>saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam

>film India dan berkata: "Mari,kita jemput nenek di kampung".

>  

>Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali

>menyandarkan kepalaku ke dadanya yg bidang, ada

>suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku

>seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa

>diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya. Kalau

>terjadi selisih paham diantara kami, dia suka

>tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi diatas

>kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak

>ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.

>  

>Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah. Aku

>suka sekali menghias rumah dengan bunga segar,

>sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan

>berkata kepada suami:"Istri kamu hidup

>foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak

>bisa dimakan?" Aku menjelaskannya kepada nenek:

>"Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah

>terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih

>gembira". Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku

>berkata sambil tertawa: "Ibu, ini kebiasaan

>orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga."

>  

>Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali

>melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak

>bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga

>bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil

>menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa

>pulang barang belanjaan,dia selalu tanya itu

>berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab,

>dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku

>memencet hidungku sambil berkata: "Putriku, kan

>kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang

>sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.

>  

>Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku

>bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia

>sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki

>masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.

>Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan

>aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Nenek

>selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan

>seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.

>  

>Aku adalah instrukstur tari, seharian terus

>menari membuat badanku sangat letih, aku tidak

>ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun

>pagi apalagi disaat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di

>dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin

>repot, misalnya: dia suka menyimpan semua

>kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan

>bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumahku

>seperti tempat pemulungan kantong plastik,

>dimana-mana terlihat kantong plastik besar

>tempat semua kumpulan kantong plastik.

>  

>Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak

>menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia

>tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali

>lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari,

>nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam

>harinya, dia segera masuk ke kamar sambil

>membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi

>serba salah, malam itu kami tidur seperti orang

>bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi

>dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan

>marah."Apa salahku?" Dia melotot sambil berkata:

>"Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan

>dengan piring itu bisa membuatmu mati?"

>  

>Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg

>culup lama, suasana menjadi kaku. Suamiku

>menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak

>pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku

>masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun

>lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya,

>suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika

>melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar

>mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat

>padaku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?

>Demi menjaga suasana pagi hari agar tidak

>terganggu, aku selalu membeli makanan diluar

>pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami

>berkata:"Luci, apakah kamu merasa masakan ibu

>tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak

>pernah makan di rumah?" sambil memunggungiku dia

>berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir

>di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata:

>"Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah

>bersama kami setiap pagi". Aku mengiyakannya dan

>kembali ke meja makan yg serba canggung itu.

>  

>Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan

>dan tiba-tiba ada suatu perasaan yg sangat mual

>menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar

>semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar

>mandi, sampai disana aku segera mengeluarkan

>semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat

>suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan

>memandangku dengan sinar mata yg tajam, diluar

>sana terdengar suara tangisan nenek dan

>berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa

>bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!

>Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar

>hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan

>mata merah dan berjalan menjauh…… suamuamiku segera mengejarnya keluar rumah.

>  

>Menyambut anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek.

>Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan

>tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa,

>semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku

>sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah

>kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan

>nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku

>yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya

>teman sekerjaku berkata:"Luci, sebaiknya kamu

>periksa ke dokter". Hasil pemeriksaan menyatakan

>aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah

>berita gembira yg terselip juga kesedihan.

>Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg

>berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

>  

>Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku,

>3 hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka

>kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu

>tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke

>arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku

>lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian

>dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku

>sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal aku

>ingin memberitahunya bahwa kami akan segera

>memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan

>diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar

>sampai aku minta ampun tetapi..... mimpiku tidak

>menjadi kenyataan. Didalam taksi air mataku

>mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?

>  

>Sampai di rumah aku berbaring di ranjang

>memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar

>matanya yg penuh dengan kebencian, aku menangis

>dengan sedihnya. Tengah malam,aku mendengar

>suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu

>dan melihat dia dgn wajah berlinang air mata

>sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku

>nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia

>seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.

>Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan

>aku. Sungguh lelaki yg sangat picik, dalam saat

>begini dia masih bisa membedakan antara cinta

>dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.

>  

>Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku

>ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku

>akan membicarakan semua masalah ini dan pergi

>mencarinya di kantornya.Di kantornya aku bertemu

>dengan seketarisnya yg melihatku dengan wajah

>bingung."Ibunya pak direktur baru saja mengalami

>kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di

>rumah sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera

>menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek

>sudah meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku,

>wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yg

>terbujur kaku.. Sambil menangis aku menjerit

>dalam hati: "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?"

>Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak

>pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku

>selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian.

>  

>Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari

>orang lain, pagi itu nenek berjalan ke arah

>terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung.

>Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak

>melihat sebuah bus yg datang ke arahnya dengan

>kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan

>suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak

>muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar,

>jika............ dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.

>  

>Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam

>pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap

>rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi

>juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku

>ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku

>dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera

>mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya,

>aku tidak pernah menjelaskan masalah ini. Aku

>rela dipukul atau dimaki-maki olehnya

>walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan

>sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti

>tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang makin

>larut malam. Suasana tegang didalam rumah.

>  

>Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café,

>melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela,

>aku melihat suamiku dengan seorang wanita

>didalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis

>dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yg

>telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di

>depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku

>tidak menangis juga tidak berkata apapun karena

>aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang

>gadis melihatku dan ke arah suamiku dan segera

>hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan

>menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg

>tidak kalah tajam dariku. Suara detak jantungku

>terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian.

>  

>Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan

>mereka, jika tidak.. mungkin aku akan jatuh

>bersama bayiku dihadapan mereka. Malam itu dia

>tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku

>apa yang telah terjadi. Sepeninggal nenek,

>rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah

>berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah,

>kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar.

>Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang

>keperluannya. Aku tidak ingin menelepon dia

>walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk

>menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak

>terjadi........., semua berlalu begitu saja.

>  

>Aku mulai hidup seorang diri, pergi check

>kandungan seorang diri. Setiap kali melihat

>sepasang suami istri sedang check kandungan

>bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman

>menyarankan agar aku membuang saja bayi ini,

>tetapi aku seperti orang yg sedang histeris

>mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai

>pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

>  

>"Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk

>didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap

>rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tidak

>perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan

>hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi.

>Sambil membuka mantel dan topi aku berkata

>kepadanya: "Tunggu sebentar, aku akan segera

>menanda tanganinya". Dia melihatku dengan

>pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku

>berkata pada diri sendiri, jangan menangis,

>jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali

>tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.

>  

>Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya

>dan ternyata dia memperhatikan perutku yg agak

>membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda

>tangani surat itu dan menyodorkan

>kepadanya."Luci, kamu hamil?" Semenjak nenek

>meninggal, itulah pertama kali dia berbicara

>kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air

>mataku yg mengalir keluar dengan derasnya. Aku

>menjawab: "Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah

>boleh pergi". Dia tidak pergi, dalam keremangan

>ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan

>dia membungkukan badannya ke tanganku, air

>matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di

>lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yg

>sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.

>Entah sudah berapa kali aku mendengar dia

>mengucapkan kata: "Maafkan aku, maafkan aku".

>Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi

>tidak bisa. Tatapan matanya di cafe itu tidak

>akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami

>telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini

>adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.

>  

>Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi

>yang telah berlalu tidak akan pernah kembali.

>Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa

>bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku

>dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua

>makanan pemberian dia, tidak menerima semua

>hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi

>dengannya. Sejak menanda tangani surat itu,

>semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

>  

>Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur

>bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia

>terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari,

>terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek

>tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainan

>dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya,

>dia akan berpura-pura sakit sampai aku

>menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia

>lalu akan memelukku sambil tertawa

>terbahak-bahak. Dia lupa........, itu adalah

>dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?

>  

>Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar

>suara orang mengerang sampai anakku lahir.

>Hampir setiap hari dia selalu membeli

>barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan

>anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak.

>Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh

>sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba

>menarik simpatiku tetapi aku tidak bergeming.

>Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam

>hari dari kamarnya selalu terdengar suara

>pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi

>tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia

>maya pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

>  

>Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba

>terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan

>suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke

>kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat

>inilah yg ditunggu-tunggu olehnya. Aku

>digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah

>sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan

>erat tanganku, menghapus keringat dingin yg

>mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera

>digendongnya menuju ruang bersalin. Di

>punggungnya yg kurus kering, aku terbaring

>dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang

>hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?

>  

>Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku

>dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku

>didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit

>aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari

>ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku

>dengan wajah penuh dengan air mata sambil

>tersenyum bahagia. Aku memegang tangannya, dia

>membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum

>dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku

>berteriak histeris memanggil namanya.

>  

>Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa

>membuka matanya…â… aku pernah berpikir tidak

>akan lagi meneteskan sebutir air matapun

>untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian,

>aku tidak pernah merasakan sesakit seperti saat

>ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai

>pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai

>hari ini sudah merupakan sebuah mukjizat. Aku

>tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg

>lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi

>kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi peduli

dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke

rumah dan ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

  

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah

>benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang

>bersandiwara…… Sebuah surat yg sangatgat panjang

>ada di dalam komputer yg ditujukan kepada anak

>kami. "Anakku, demi dirimu aku terus bertahan,

>sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah

>harapanku.. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan

>menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan

>kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa

>melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai

>kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah

>mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap

>segala kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi.

>Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah. "Anakku,

>selesai menulis surat ini, ayah merasa telah

>menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah

>sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh

>menderita, dia adalah orang yg paling

>mencintaimu dan adalah orang yg paling ayah cintai".

>  

>Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi

>sejak TK , SD , SMP, SMA sampai kuliah, semua

>tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia juga

>menulis sebuah surat untukku. "Kasihku, dapat

>menikahimu adalah hal yg paling bahagia aku

>rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku,

>maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang

>penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita

>terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau

>menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau

>telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu

>padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak

>punya kesempatan untuk memberikannya pada anak

>kita.. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya".

>  

>Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring

>lemah. Aku menggendong anak kami dan

>membaringkannya diatas dadanya sambil berkata:

>"Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah

>anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang

>dan hangatnya pelukan ayahnya". Dengan susah

>payah dia membuka matanya, tersenyum..........

>anak itu tetap dalam dekapannya, dengan

>tangannya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg

>kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret

>berapa kali momen itu dengan kamera di tangan

>sambil berurai air mata.................

>  

>Teman2 terkasih, aku sharing cerita ini kepada

>kalian, agar kita semua bisa menyimak pesan dari

>cerita ini. Mungkin saat ini air mata kalian

>sedang jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah

>pesan dari cerita ini: "Jika ada sesuatu yg

>mengganjal di hati diantara kalian yg saling

>mengasihi, sebaiknya utarakanlah jangan simpan didalam hati".

>Siapa tau apa yg akan terjadi besok? Ada sebuah

>pertanyaan: Jika kita tahu besok adalah hari

>kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yg

>telah kita perbuat? atau apa yg telah kita ucapkan? Sebelum segalanya

>menjadi terlambat, pikirlah matang2 semua yg

>akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup



Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments: