CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, April 20, 2009

[kcb-milis] Fw: Peradaban Aceh





----- Forwarded Message ----
From: napol aceh <napolaceh@gmail.com>
To: senoramutia@yahoo.com
Sent: Tuesday, March 17, 2009 5:15:29 PM
Subject: Peradaban Aceh

PERADABAN ACEH,
SEBUAH MATA RANTAI MUTIARA YANG HILANG DARI PERADABAN DUNIA.


BUKTI-BUKTI HISTORIS secara empiris menegaskan;
BAHWA 370 tahun yang lalu, pada Era Sultan Iskandar Muda adalah masa
keemasan Aceh, dimana Aceh berada pada puncak kegemilangan.
Tidak hanya mampu memproduksi dan menetapkan berbagai konsep qanun
(undang-undang dan peraturan), tetapi juga telah mampu melaksanakan
qanun secara adil dan mendunia (kaffah).
Keberhasilan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh telah
mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi juga dari
musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia, hal tersebut
tidaklah serta merta datang dengan sendirinya bukan pula jatuh dari
langit, namun tidak terlepas dari kerja keras, gigih dan jujur
berwibawa serta menjaga adab dan tatakrama sebagai seorang negarawan.
Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah
semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh: "The
author of the Bustan al-Salatin curiously identifies the newly
conquered territories under Mahkota Alam as "Large Countries;" they
include Deli, Johor, Bintan, and Pahang" (Bustan 1966:26-27).
Juga telah berhasil menjalin hubungan diplomasi dengan berbagai bangsa
Asing, sehingga secara diplomatik Aceh tidak hanya dikenal sebagai
sebuah negeri yang sangat kaya dengan berbagai sumber daya alamnya,
tetapi kekayaan itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama-sama
oleh rakyatnya.

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, Sultan telah menempatkan
para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan
istimewa. Sehingga pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh
benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan Tamaddun di
Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar
dari seluruh dunia.
Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606-1636 M)
Sultan telah berhasil membawa Kerajaan Aceh ke atas puncak kejayaan,
hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di
dunia pada masa kejayaan Islam, yakni setelah kerajaan Islam Maroko
yang terletak di bibir pantai Samudera Atlantik Utara, Isfahan (kini
propinsi bagian dari Iran) , Persia ( kini Iran) dan Agra (kini berada
dibawah kendali Uttar Pradesh negara bagian dari India), dan satu
tingkat berada diatas kerajaan Pattani (kini propinsi bagian dari
Thailand).

Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1583. (Denys Lombard, 1991:
225-226) adalah Raja XII di Kerajaan Aceh (ensiklopedia bebas). Ibunya
keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra
Wangsa, yang juga dikenal dengan nama Sri Paduka Syah Alam, Puteri
Sultan Alaidin Ri'ayat Syah (1589-1604). Sedangkan ayahnya bernama
Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan
'Alaiddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571).
Pada kurun-kurun berikutnya keturunan ayahnya inilah yang dikenal
sebagai keturunan Raja Mahkota Alam I (Denys Lombard: 1991, 223).
Maka tak dapat disangkal bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan campuran
darah Malaka (Melayu) dan Aceh.

Setelah menjadi Sultan.
Karena rakyat Aceh terdiri dari beberapa Kawoem dan Sukee, maka Sultan
Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada
masing-masing kelompok yang ada. Selain untuk menyatukan mereka
pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah
penerapan berbagai program pemerintahannya. Untuk menjamin langgengnya
kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian dan
kemakmuran.
Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun Tata Negara atas empat bagian.
(Ismuha: 1988, 155).
Segala kebijakan mengenai adat, hukum, qanun dan reusam itu kemudian
tertuang dalam sebuah Hadih Maja yang hingga saat ini masih dikenal
dalam masyarakat Aceh yang berbunyi:
Adat bak Po Teu Meureuhoem,
Hukoem bak Syiah Kuala,
Qanun bak Putro Phang,
Reusam bak laksamana.

Sultan Iskandar Muda mengeluarkan juga qanun yang menentukan martabat,
hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang
dalam sebuah qanun yang dikenal dengan nama Adat Meukuta Alam.

Menurut naskah Adat Aceh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan
Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja
Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara
dan Sri Indra Muda beserta para perwira-perwira Balai Besar untuk
membuat dan menyusun qanun yang sesuai dengan tatakrama dan maklumat
Raja. Didalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama
sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa,
di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja raja.
Selain itu, ada juga qanun yang secara khusus membahas secara
manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan
rakyat termasuk masyarakat non muslim dan begitu juga sebaliknya.
Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin
perang, penghulu dan uleebalang. (Adat Atjeh 1958:110, 111).

Dalam naskah "The Crown of Sultans" pada bagian ketiga juga secara
spesifik membahas tentang adat majelis raja-raja. Dari beberapa naskah
kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan Iskandar Muda
memiliki kebijakan yang luar biasa dalam menetapkan berbagai qanun
yang menjamin kelangsungan hidup kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda
juga menetapkan rencong sebagai lambang kehormatan dan cap (stempel)
sebagai lambang kekuasaan tertinggi. Tanpa rencong berarti tidak ada
pegawai yang mengaku bertugas menjalankan perintah raja. Setiap
pegawai istana yang bertugas menyambut tamu asing wajib mengenakan
rencong.
Demikian pula halnya sebuah qanun yang dikeluarkan oleh raja akan
mempunyai kekuatan setelah dibubuhi cap, tanpa cap peraturan itu tidak
dapat dijadikan pegangan. Salah satu bentuk cap yang masih tersisa
dari masa Kesultanan Aceh adalah Cap Sikureueng. (Anomimous, 1988: i).

Sultan Iskandar Muda juga menetapkan qanun Seuneubok Lada yang memuat
tentang berbagai peraturan mengenai pertanian dan peternakan.
(Zainuddin. 1957: 103).
Sultan Iskandar Muda juga telah menjalin hubungan dagang dengan
bangsa-bangsa asing. Berdasarkan laporan yang dibuat sesudah ekspedisi
Cheng Ho ke lautan Selatan mengungkapkan bahwa kehadiran kapal-kapal
Cina di Aceh merupakan bukti nyata bahwa bangsa Cina telah menjadikan
Aceh sebagai pemasok rempah-rempah (Groeneveldt, 1960: 85-88).

Hubungan dagang Aceh dengan bangsa Siam sudah tercatat sejak masa
kerajaan Pasai tahun 1520. Hubungan dagang tersebut semakin meningkat
pada masa kerajaan Aceh dibawah Sultan Iskandar Muda. (Adat Atjeh,
164b).

Dalam Hikayat Aceh sarrga jelas disebutkan tentang adanya
utusan-utusan dagang yang berasal dari Siam, Cina dan Campa pada masa
Sultan Iskandar Muda. (Hikayat Atjeh, Par. 214 - 223) dan (G.Coedes,
Etats hindouises, 1964: 390).

Selain itu, saudagar India pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan
salah satu bangsa yang memegang bagian terbesar dari dunia perdagangan
di Aceh. (Lancaster, 1940: 90).

Pun demikian dengan bangsa Eropa yang dalam sebagian besar naskah
Melayu menyebut mereka bangsa Peringgi dapat dilihat dari adanya
surat-surat raja Inggris, Penguasa Perancis, Portugis dan Belanda
(Djajadiningrat, CritOv, 170);
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya
bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat
yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta
seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris
untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan
juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang
dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan
tinta emas. Sir James dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I.
Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh
pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

"I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway
over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the
lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang
terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh
wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk
matahari terbit hingga matahari terbenam)".

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja
James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam
sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih
terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits (pendiri dinasti Oranje)
juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan
Aceh Darussalam pada waktu Belanda melepaskan diri dari Spanyol.
Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan
utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul
Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama
yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran
di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun
karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau
dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan gereja St Peter,
Middleburg, Holland (kaul/hajad saya: setelah bebas dari penjara kelak
akan berziarah ke sana). Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti
yang diresmikan oleh Mendiang Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu
Juliana dan Ayahanda Ratu Beatrix (Ensiklopedia bebas).

Dengan Turki, melalui sepucuk surat persahabatan yang ditulis oleh
Kadhi Malikul Adil Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Surat persahabatan itu
selanjutnya disampaikan oleh utusan rombongan Aceh yang dikepalai oleh
Panglima Nyak Dum. (Zainuddin, 1957: 114-121)

Dilihat dari sepanjang  perjalanan sejarah Aceh, hampir dari semua
aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar Muda-lah
merupakan masa kejayaan Aceh. Paduka Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota
Alam wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek
Kandang Mas, ditepi Krueng Daroy, Kutaraja.

300 tahun kemudian,
tepatnya 72 tahun yang lalu yaitu pada tanggal 25 November 1937 Teuku
Tjhik M. Djohan Alamsjah, genap 25 tahun memerintah nanggro Peusangan
dengan adab dan tatakrama layaknya sebagaimana seorang negarawan. Para
ulama dan saudagar serta tokoh masyarakat berkumpul berembug,
membicarakan acara penghormatan untuk uleebalangnya.
Mereka sangat menghormati keberhasilan kerja keras Ampoen Tjhik dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat nanggro Peusangan. Perayaan itu
dimeriahkan dengan berbagai hiburan diseluruh nanggro Peusangan. Tak
lupa doa keselamatan dipanjatkan oleh para ulama diseluruh mesjid dan
meunasah-meunasah.
Para saudagar kaya dan masyarakat nanggro Peusangan menghadiahkan Tugu
Peringatan 25 tahun Teuku Tjhik Peusangan Muhammad Djohan Alamsjah
bertahta di nanggro Peusangan dan sebuah mobil chrysler seharga 100
ribu dollars amerika serikat. Sungguh sayang, monumen prasasti di
Matang Glumpang Dua itu kini telah berubah menjadi ruko.

Jika kita mau jujur pada diri kita sendiri, catatan sejarah diatas
secara logika cukup kuat bukti untuk mengatakan bahwa Peradaban Aceh
masa lampau sangatlah masyur dan jauh lebih maju ketimbang peradaban
kita hari ini.
Namun tidak ada kata terlambat untuk memulai segala sesuatu, anak cucu
rakyat Aceh butuh pendidikan sebagaimana suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW yang pertama sekali menerima wahyu Illahi; Iqraq
"BACALAH" (QS 96:1) karena hanya dengan membaca kita dapat mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan tanpa batas, tidak terkecuali ilmu adab dan
tatakrama sebagai seorang negarawan. Pendidikan akan terselenggara
dengan baik jika Aceh bebas dari konflik. Meski para founding father
pendidikan negeri ini pernah berpolemik dalam mempertahankan
ideology-nya masing-masing, sebagaimana tergambarkan dalam letak
kampus IAIN Ar-Raniry dan UNSYIAH; Jika anda hendak menuju gedung
Ar-Raniry maka anda harus membelakangi UNSYIAH dan menginjak jalan
Hamzah Fansury untuk sampai di gedung Ar-Raniry.

SUDAH terbukti secara historis dan empiris pula;
ASAL MULA malapetaka itu berawal dari Maklumat Gubernur Jenderal J.
Loudon, Gubernur Jenderal Belanda yang memproklamirkan perang terhadap
Kerajaan Aceh, di bawah pemerintahah Sultan Alaiddin Mahmud Syah II.
Mulai pagi 26 Maret 1873 itu, Aceh memasuki babak baru kehidupannya,
yakni perang dengan Belanda yang berkepanjangan. Meski dengan gusar
dan marah Multatuli, seorang penulis keturunan kolonial membuat surat
terbuka kepada penguasa utama Belanda King Williem III atas sikap
Gubernur Jenderal J. Loudon terhadap Aceh. Surat itu mirip ramalan
takdir untuk negeri dibawah angin menghadapi ancamannya. Meski
mendapat tekanan dari berbagai pihak, bahkan parlemen Belanda terpaksa
menolak anjuran perang ini, namun Loudon terus mendistorsi
perkembangan Aceh dengan telegram telegram propaganda dan provokasi.
Aceh "dihukum bersalah" sebab melanggar perjanjian niaga, perdamaian
dan persahabatan yang dibuat 30 Maret 1857 antara Aceh dan Pemerintah
Hindia Belanda. Mata sejarah akhirnya tidak menemukan bukti
pelanggaran Aceh dengan Negeri Kincir Angin itu, kecuali bahwa
Kerajaan Aceh telah mengalihkan transaksi niaganya ke negara Eropa
lainnya.
Bahwa pasca deklarasi maklumat perang kerajaan Belanda terhadap
Kerajaan Aceh yang diumumkan diatas gladak kapal Citadel Van
Anterwepen dan hingga kini prasastinya masih berdiri tegak di Kebun
Raya Bogor, telah membuat kita kehilangan segalanya mulai dari istana
yang megah, tahta, harta, wanita, anak-anak, budaya, adab dan
tatakrama  hingga harga diri sebagai sebuah bangsa yang besar pun ikut
tergerus dibawa ganasnya arus konflik panjang yang melelahkan.
Pengkhianatan kerajaan Inggris terhadap kerajaan Aceh (traktat London
1824) ini telah memicu perang kerajaan Aceh turun temurun dengan
kekuatannya sendiri melawan kerajaan Belanda hingga sultan Aceh yang
terakhir Tuanku Muhammad Dawodsyah tertawan Belanda pada Januari 1903
dan dibawa ke Batavia ditahan di toetoepan djatinegara (kini lapas
cipinang). Sementara itu di Aceh kedaulatan Kerajaan Aceh dan
perjuangan mempertahankan dari gempuran dan kejaran Belanda diteruskan
oleh seorang ulama kepercayaan kerajaan yaitu Tgk.Chik di Tiro
Muhammad Saman yang bahu membahu bersama rakyat, hingga Cut Nyak Dhien
tertawan Belanda 1905 dan gugurnya Cut Meutia 1910.
Konflik Aceh  tidak berakhir sampai disitu, kemudian hari para "oelama
poesa" yang cendrung absolut, sedianya sebagai ulama diletakkkan
sebagai pondasi dan deberikan tempat yang tinggi dan sangat terhormat
dalam tata negara Kerajaan Aceh pun ikut tergoda akan kekuasaan dan
kilauan singgasana, lalu meminta bantuan saudara tua, Jepang, dibawah
komando Kolone V Fujiwara untuk mengusir Kaphe Beulanda, namun
mengorbankan administrator administrator ulung (baca: uleebalang)
bahkan ulama sendiri dan rakyat kemudian ikut menjadi korban keganasan
saudara tua dalam memperluas dominasinya di Asia Raya.
Lahirnya pemberontakan DI/TII dan mereda dengan Ikrar Lamteh 1957.
Lalu di puncak gunung Halimun, Pidie, 4 Desember 1976. Tgk.Hasan
Asleh, Tgk.Jamil Amin,Tgk. Zainal Abidin, Tgk.Ilyas Leubee, Tgk.Daud
Paneuk dan Tgk.Hasan Muhammad di Tiro berikrar mendirikan Negara Aceh
Merdeka (AM). Organisasi yang berjuang menegakkan Negara Aceh yang
merdeka dan berdaulat lalu dikenal dengan nama Geurakan Aceh Meurdehka
(GAM) dengan sayap militer yang dikenal dengan nama TNA (Teuntra
Neugara Atjeh) dan berjuang di dunia iternasional dengan nama Aceh
Sumatera National Libertion Front (ASNLF), adalah merupakan akumulasi
kekecewaan terhadap pusat negara kesatuan negeri-negeri dibawah angin
(baca: indonesia) dan merupakan saluran perlawanan rakyat Aceh warisan
endatu bangsa Aceh dalam pencarian dignity dan entitasnya yang hilang.
Meski kini sudah hidup di era digital namun janganlah lupa pada kokok
ayam jantan menjelang subuh, yang dulu pernah membangunkan tidur dan
menyadarkan kita bahwa sebentar lagi mata hari akan terbit, pada masa
itu memang belum terbiasa dengan peralatan digital dan alaram, paling
cuma jam weker.
Sejak 26 Maret 1873 hingga kini cukup banyak sudah jumlah korban
perang Aceh berjatuhan, lalu 26 Desember 2004 Tsunami datang dan juga
mengambil korban tidak kurang dari 20 ribuan nyawa dan tak terhitung
harta benda lainnya, namun dibalik musibah membawa berkah pula dimana
ada ribuan dari tahanan politik Aceh belum lama telah dipindahkan ke
Pulau Jawa dan pejuang yang belum tertangkap lari ke gunung-gunung
terselamatkan dari Tsunami, lalu Tsunami juga mengilhami sebuah
perdamaian yang benama MoU Helsinki dan ditukarlah senjata dengan
demokrasi.
Konflik panjang telah terbukti sukses besar melahirkan generasi yang
miskin dalam segala aspek kehidupan, bahkan Aceh telah kehilangan
begitu banyak tokoh berbobot.
Perdamaian pun melahirkan pemain sandiwara yang dulu memusuhi para
pejuang tiba-tiba berdiri di garis depan sebagai pahlawan kesiangan
(baca: kaleubeh gam awak gam yang tamong tanggai 16 daripada gam yang
seubeutoi jih), eforia gam tumbuh pesat dan bermunculan para badut
yang lalu sebagiannya didaulat oleh rakyat Aceh agar naik ke atas
panggung pentas politik dan singgasana negeri ini, dari ujung timur
hingga ujung barat, setelah mereka dipilih para badut ini juga banyak
yang lupa pada dirinya sendiri dan asal muasalnya apalagi sama
rakyatnya, dan hari ini rakyat hanya menjadi penonton saja dengan
sesekali rakyat ikut mentertawakan pilihannya ketika menyaksikan
tayangan para badut berakting membawakan peran lucu, bukankah
sebenarnya sama saja kita telah mentertawakan diri kita sendiri ?

Tidak ada maksud saya untuk mengajak pembaca bernostalgia dan membuka
luka lama apa lagi menggurui, saya hanya seorang anak manusia biasa
yang juga tidak luput dari salah dan dosa, saya hanya seorang tawanan
perang Aceh terhina dan terbuang dipenjara di negeri orang nun jauh
dari kampung halaman dan sanak saudara, saya hanya benar-benar merasa
khawatir dengan sejarah yang akan kita warisi kepada anak cucu kita
kelak.
Haqqul yakin, jika dunia ini belum kiamat; 300 tahun yang akan datang
anak cucu kita kelak akan malu dan tidak mau membaca sejarah kita
sebagai endatu mereka jika kita tidak memulainya sekarang dengan akal
sehat dalam mebangun kembali negeri dan masyarakat Aceh pasca perang
dan konflik panjang, karena sudah terlampau lama negeri ini dibangun
dengan tanpa akal sehat.
Kerugian yang harus ditanggung renteng oleh rakyat Aceh sejak 26 Maret
1873 hingga kini tidaklah sebanding dengan selembar MoU Helsinki 15
Agustus 2005, namun setidaknya MoU Helsinki secara konstitusi telah
membuka pintu masuk menuju demokrasi bagi rakyat Aceh untuk
berpartisipasi membangun negerinya.
Pesta demokrasi ini sudah didepan mata, masyarakat Aceh harus bebas
menentukan pilihan caleg-caleg yang akan mewakilinya di parlemen. Jika
rakyat Aceh inginkan perubahan arah kebijakan negara ini maka tidak
ada pilihan lain secara konstitusi dan dijamin oleh undang-undang
yaitu hanya di parlemen celah sempit itu tersedia, untuk menuju
parlemen mereka butuh suara rakyat. Berperang sudah tidak mungkin
lagi, karena perang bukanlah satu-satunya jalan menuju damai, lagi
pula ada beberapa orang yang dulunya bergelar panglima (komandan)
sudah cukup nyaman dan mapan serta puas dengan menikmati keadaan yang
ada jadi ogah berperang, namun mayoritas eks teuntra, atom, pateng,
juru maguen, inong balee dan rakyat biasa memang belum mendapatkan
penghidupan dan keadilan yang layak, mereka ini selain mengancam
perdamaian dan berpotensi memicu konflik baru, juga akan menjadi
kerikil dalam sepatu perdamaian, ini adalah realita Aceh hari ini yang
akan mejadi pekerjaan rumah bagi wakil takyat terpilih nantinya dan
negarawan Aceh ke depan.
Kewajiban bagi semua rakyat Aceh adalah menjaga balita perdamaian yang
bernama MoU Helsinki ini, dengan menjaga perdamaian dan tidak
terprovokasi oleh ajakan yang menyesatkan dan merusak perdamaian,
gunakan dengan sebaik-baiknya hak sebagai rakyat untuk memilih wakil
yang akan duduk di parlemen sesuai dengan pilihan hati nurani
masing-masing, maka proses menuju kedaulatan rakyat akan benar-benar
terselenggara dengan baik. MoU Helsinki yang masih balita, sebagaimana
layaknya seorang balita sudah tentu sibalita membutuhkan asupan gizi
yang cukup, perhatian dan kasih sayang yang cukup, jika memang kita
ingin melihat sibuah hati tumbuh sehat dan cerdas kelak.
Namun janganlah salah pilih karena akan fatal akibatnya ke depan,
iklan perusahaan kecap memang selalu mengatakan produknya yang terbaik
dan memberikan cap jempol, namun pengalaman panjang rakyat Aceh hidup
di tengah konflik tentu saja telah membuat rakyat cerdas membedakan
antara partai keledai bawa kitab dan partai pencuri kuda, karena
kabarnya pemotong tali unta Nabi juga ikut mendirikan partai politik
di Aceh.

Titip pesan kepada caleg-caleg dan Negarawan Aceh, masih terbuka lebar
kesempatan membuat sejarah yang gemilang bagi Aceh, jangan sebaliknya
justeru tuan-tuan yang akan ditulis menjadi bagian dari sejarah
kelamnya bangsa ini.
Bila tuan-tuan terpilih utamakanlah sosialisasi perdamaian dan segera
hidupkan sektor industri rakyat di Aceh agar ekonomi rakyat, petani
dan nelayan bangkit, janganlah mengandalkan anggaran bantuan dan hibah
dari negara untuk rakyat saja. Semoga mejadi legislator-legislator dan
negarawan-negarawan yang beradab dan bertatakrama Aceh sebagaimana
layaknya endatu bangsa Aceh 370 tahun yang lalu.

Karena: Nabi Khaidir AS pernah berwasiat kepada Syech Abdulrauf
al-Sinkili dan Sultan Iskandar Muda. (wasiat endatu wangsa Aceh: Naqal
Syech: mandiyatul badiah: 10);

"Pada tahun 1440 Hijriyah. Negeri Aceh akan dikuasai oleh rakyat yang
dipimpin oleh seorang pemimpin yang datang dari rakyat keturunan
pemimpin adil. Manusia pada waktu itu kuat agamanya, kuat imannya.
Taat beribadah, namun hidup dalam ketakutan, baik tokoh pemerintahan
dan para ulama maupun rakyat biasa, para guru, santri-santri dan tokoh
masyaratakat sangat takut kepada penyakit yang tidak dapat dideteksi
oleh alat medis, yaitu tenung atau sihir, karena banyak manusia pada
masa itu juga menuntut dan mengamalkan ilmu-ilmu sihir atau ilmu
hitam.
Pada masa itulah akan datang seorang pemimpin yang akan menjalankan
Adat dan Hukum yang adil. Hingga negeri aman, damai, adil dan makmur,
sejahtera seperti dahulu kala. Akan berdiri tegak kembali Negeri Aceh
Serambi Mekkah".

Temukan kembali mata rantai mutiara yang hilang dalam peradaban ACEH.



Catatan: Suntingan sejarah Aceh diatas bukanlah merupakan hak kekayaan
intelektual penulis, namun penulis sunting dari beberapa sumber.
Antara lain: situs moderen Pemda NAD.

*) Oleh: Teuku Ismuhadi Peusangan.
Penulis adalah Narapidana Politik Aceh yang ditahan di Pulau Jawa
sejak tahun 2000

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Search

Start Searching

Find everything

you're looking for.

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

10 Day Club

on Yahoo! Groups

Share the benefits

of a high fiber diet.

.

__,_._,___

No comments: